Jumat, 10 Juli 2015

Kesehatan Gigi



A.   Kesehatan Gigi
Gigi merupakan bagian tubuh yang berfungsi untuk mengunyah, berbicara, mempertahankan bentuk muka, dan estetika. Gigi sehat adalah keadaan gigi yang bersih tanpa adanya plak, karies, nyeri, dan penyakit lainya. Gigi dapat berfungsi dengan baik apabila gigi tersebut dalam keadaan sehat, sebaliknya gigi yang tidak sehat akan menimbulkan masalah (Hamada, 2008).
Kesehatan gigi merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kesehatan tubuh secara keseluruhan. Saat ini masalah kesehatan gigi  masih menjadi prioritas kedua terutama bagi masyarakat Indonesia. Padahal dari sakit gigi yang tampaknya sepele, bisa menjadi pemicu timbulnya sejumlah penyakit berbahaya. Dari beberapa studi dilaporkan adanya hubungan antara penyakit gigi dengan penyakit jantung koroner, aterosklerosis, pneumonia, diabetes dan kelahiran prematur. Bahkan, penyakit gigi juga pernah dilaporkan bisa menyebabkan kematian. Informasi statistik rumah sakit di Indonesia (2005) menunjukkan bahwa penyakit gigi kronis seperti penyakit pulpa dan periodontal termasuk dalam urutan ke-24 dari 50 peringkat utama penyebab kematian di rumah sakit (PDGI, 2009).

B.   Karakteristik Gigi Anak Usia Sekolah
Secara fisiologis, gigi sulung atau gigi susu akan tanggal pada usia sekitar 6-7 tahun, dimana pada umur tersebut anak-anak rerata sudah berada dikelas 1 sekolah dasar. Gigi susu yang tanggal tersebut akan digantikan gigi tetap dengan urutan tumbuh, yaitu gigi seri bawah, gigi seri atas, gigi taring bawah, gigi geraham kecil bawah, gigi geraham kecil atas, gigi geraham besar bawah, gigi geraham besar atas, dan terakhir gigi taring atas. Sekitar usia 14-15 tahun, semua gigi susu telah tanggal dan semua gigi yang ada dalam mulut adalah gigi tetap. Satu hal yang perlu diketahui orang tua bahwa tumbuhnya gigi geraham besar bawah dan atas pertama itu tidak menggantikan gigi susu manapun. Gigi geraham ini tumbuh secara diam-diam. Karena karakteristik tumbuhnya yang diam-diam, biasanya gigi geraham ini rawan sekali terjadi kerusakan dan sering kali harus dikorbankan dengan cara dicabut (Hamada, 2008).
Berhubungan dengan proses fisiologis bergantinya gigi susu menjadi gigi tetap yang berlangsung saat anak  usia sekolah, maka diperlukan perhatian yang lebih dari orang tua dalam perawatan kesehatan gigi dan mulut anaknya. Orang tua perlu mengajarkan cara gosok gigi yang benar, memfasilitasi perawatan gigi pada anak, memberikan makanan yang tepat dan bergizi, serta membawa anaknya melakukan pemeriksaan gigi ke dokter gigi minimal 6 bulan sekali. Apabila anak sudah dibiasakan melakukan perawatan gigi dan mulut yang baik dan benar sejak usia sekolah, maka diharapkan dapat terbentuk pola perilaku perawatan kesehatan gigi dan mulut yang baik dalam kehidupan anak  (Suryawati, 2010).

C.   Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Gigi  
Kesehatan gigi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1.      Gizi makanan
Perlu kita ketahui bahwa benih gigi sudah terbentuk waktu janin (embrio) berusia ½ bulan dalam kandungan. Makanan-makanan ini sudah tercakup dalam empat sehat lima sempurna (Palupi, 2005).
2.      Pengaruh selama pembentukan gigi
Zat kapur merupakan bahan utama dalam pembentukan enamel, di samping vitamin C, D dan lain-lain (Palupi, 2005).
3.      Bila gigi sudah tumbuh
Makanan yang empuk dan lunak tidak memerlukan pengunyahan yang sulit. Sering tidaknya kita makan juga mempengaruhi. Pengaruh asam dari zat hidrat arang dalam mulut terjadi selama 40 menit pertama sesudah makan. Kalau kita makan 3 kali sehari maka pengaruh asam hanya terjadi selama 3 x 30 menit = 1,5 jam/hari (Asmawati, 2007).
4.      Jenis makanan
Makanan yang mudah lengket dan menempel digigit seperti permen dan coklat, makanan ini sangat disukai oleh anak anak. dan tanpa disadari dapat mengakibatkan gangguan. Makanan tadi mudah tertinggal dan melekat pada gigi, sehingga bila terlalu sering dan lama, maka berakibat tidak baik. Makanan yang manis dan lengket tersebut akan bereaksi di mulut dan asam yang merusak email gigi      (Asmawati, 2007).
5.      Kebersihan gigi
Kebiasaan dan perilaku membersihkan gigi sangat mempengaruhi kebersihan gigi, dan kebersihan gigi sangat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut secara umum (Asmawati, 2007).
6.      Kepekatan air ludah
Pada orang-orang yang mempunyai air ludah sangat pekat dan sedikit akan lebih mudah giginya menjadi berlubang dibandingkan dengan air ludah yang encer dan banyak, sebab pada orang yang berair ludah pekat dan sedikit maka sisa makanan akan mudah menempel pada permukaan gigi (Asmawati, 2007).

D.   Ciri-Ciri Gigi yang Sehat
Secara umum, gigi dan mulut dikatakan sehat apabila gigi dapat berfungsi dengan baik, bersih, tanpa adanya keluhan sakit atau nyeri, serta tidak menimbulkan bau kurang sedap yang keluar dari mulut. Menurut WHO, gigi dan mulut dikatakan sehat apabila gigi berwarna putih kekuningan dengan mahkota gigi utuh, leher gigi tidak kelihatan, kondisi gusi dan mukosa mulut sehat, tidak ada keluhan sakit dan bau mulut (PDGI, 2009).  

E.    Konsep Dasar Karies Gigi
1.      Pengertian karies gigi
Karies berasal dari bahasa Latin yaitu caries yang artinya kebusukan. Karies gigi adalah suatu proses kronis regresif yang dimulai dengan larutnya mineral email sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara email dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat sehingga timbul destruksi komponen-komponen organik yang akhirnya terjadi kavitas. Prosesnya terjadi terus berjalan ke bagian yang lebih dalam dari gigi sehingga membentuk lubang yang tidak dapat diperbaiki kembali oleh tubuh melalui proses penyembuhan, pada proses ini terjadi demineralisasi yang disebabkan oleh adanya interaksi kuman, karbohidrat yang sesuai pada permukaan gigi dan waktu. Perkembangan karies dapat berbeda pada setiap orang. Apabila perkembangannya lambat, mungkin membutuhkan waktu yang lama sampai  karies menjadi kavitas besar. Akan tetapi perkembangan yang cepat hanya membutuhkan waktu beberapa bulan saja (Natamiharja, 2008).
2.      Tanda dan gejala karies gigi (Manson, 2005)
a.      Terdapat tanda-tanda keretakan email atau kavitas gigi.
b.      Dentin di dalam kavitas lebih lunak dari pada dentin di sekelilingnya
c.      Terdapat warna yang berbeda dengan email sekelilingnya.
d.      Pada karies yang berkembang cepat biasanya berwarna agak terang, sedangkan karies yang berkembang lambat biasanya berwarna agak gelap.
e.      Pit (lekukan pada email gigi) dan fisur (bentuk lekukan email gigi pada gigi molar dan pre molar) kadang-kadang berwarna tua bukan karena karies gigi, tetapi karena noda akibat beberapa makanan.
3.      Etiologi karies gigi
Ada yang membedakan faktor etiologi atau penyebab karies atas faktor penyebab primer yang langsung mempengaruhi biofilm (lapisan tipis normal pada permukaan gigi yang berasal dari saliva) dan faktor modifikasi yang tidak langsung mempengaruhi biofilm. Karies terjadi bukan disebabkan karena satu kejadian saja seperti penyakit menular lainnya tetapi disebabkan serangkaian proses yang terjadi selama beberapa kurun waktu (Manson, 2005).
Karies merupakan penyakit multifaktorial yaitu adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab terbentuknya karies. Ada 4 (empat) faktor utama yang memegang peranan yaitu faktor host atau tuan rumah, agen atau mikroorganisme, substrat atau diet dan faktor waktu. Untuk terjadinya karies, maka kondisi setiap faktor tersebut harus saling mendukung yaitu tuan rumah yang rentan, mikroorganisme yang kariogenik, substrat yang sesuai dan waktu yang lama (Angela, 2005).
a.      Faktor host
Ada beberapa hal yang dihubungkan dengan gigi sebagai tuan rumah terhadap karies gigi (ukuran dan bentuk gigi), struktur namel (email), faktor kimia dan kristalografis, dan saliva. Daerah yang mudah diserang karies adalah pit dan fisure pada permukaan oklusal dan premolar. Permukaan gigi yang kasar juga dapat menyebabkan plak yang mudah melekat dan membantu perkembangan karies gigi. Kepadatan kristal enamel sangat menentukan kelarutan enamel. Semakin banyak enamel mengandung mineral maka kristal enamel semakin padat dan enamel akan semakin resisten (Budiharjo, 2005).
Gigi susu lebih mudah terserang karies dari pada gigi tetap, hal ini dikarenakan gigi susu lebih banyak mengandung bahan organik dan air dari pada mineral, dan secara kristalografis mineral dari gigi tetap lebih padat bila dibandingkan dengan gigi susu. Alasan mengapa susunan kristal dan mineralisasi gigi susu kurang adalah pembentukan maupun mineralisasi gigi susu terjadi dalam kurun waktu 1 tahun sedangkan pembentukan dan mineralisasi gigi tetap 7-8 tahun (Budiharjo, 2005).
Saliva mampu meremineralisasikan karies yang masih dini karena banyak sekali mengandung ion kalsium dan fosfat. Kemampuan saliva dalam melakukan remineralisasi meningkat jika ada ion fluor. Selain mempengaruhi komposisi mikroorganisme di dalam plak, saliva juga mempengaruhi pH (Budiharjo, 2005).
b.      Faktor agent
Plak gigi memegang peranan penting dalam menyebabkan terjadinya karies. Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme yang berkembang biak di atas suatu matriks yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan (Angela, 2005).
Komposisi mikroorganisme dalam plak berbeda-beda, pada awal pembentukan plak, kokus gram positif merupakan jenis yang paling banyak dijumpai seperti Streptococcus mutans, Streptococcus sanguis, Streptococcus mitis, Streptococcus salivarus, serta beberapa strain lainnya, selain itu dijumpai juga Lactobacillus dan beberapa beberapa spesies Actinomyces (Budiharjo, 2005).
Plak bakteri ini dapat setebal beratus-ratus bakteri sehingga tampak sebagai lapisan putih. Secara histometris plak terdiri dari 70% sel-sel bakteri dan 30% materi interseluler yang pada pokoknya berasal dari bakteri (Asmawati, 2007).
c.      Pengaruh substrat atau diet
Faktor subtrat atau diet dapat mempengaruhi pembentukan plak karena membantu perkembangbiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada permukaan enamel. Selain itu, dapat mempengaruhi metabolisme bakteri dalam plak dengan menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk memproduksi asam serta bahan lain yang aktif yang menyababkan timbulnya karies (Asmawati, 2007).
Dibutuhkan waktu minimum tertentu bagi plak dan karbohidrat yang menempel pada gigi untuk membentuk asam dan mampu mengakibatkan demineralisasi email. Karbohidrat ini menyediakan substrat untuk pembuatan asam bagi bakteri dan sintesa polisakarida ekstra sel (Budiharjo, 2005).
Orang yang banyak mengkonsumsi karbohidrat terutama sukrosa cenderung mengalami kerusakan gigi, sebaliknya pada orang dengan diet banyak mengandung lemak dan protein hanya sedikit atau sama sekali tidak memliki karies gigi. Hal ini dikarenakan adanya pembentukan ekstraseluler matriks (dekstran) yang dihasilkan karbohidrat dari pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa ini dengan bantuan Streptococcus mutans membentuk dekstran yang merupakan matriks yang melekatkan bakteri pada enamel gigi. Oleh karena itu sukrosa merupakan gula yang paling kariogenik (makanan yang dapat memicu timbulnya kerusakan/karies gigi atau makanan yang kaya akan gula). 20 Sukrosa merupakan gula yang paling banyak dikonsumsi, maka sukrosa merupakan penyebab karies yang utama (Angela, 2005).
Makanan dan minuman yang mengandung gula akan menurunkan pH plak dengan cepat sampai pada level yang dapat menyebabkan demineralisasi email. Plak akan tetap bersifat asam selama beberapa waktu. Untuk kembali ke pH normal sekitar 7, dibutuhkan waktu 30-60 menit. Oleh karena itu, konsumsi gula yang sering dan berulang-ulang akan tetap menahan pH plak di bawah normal dan menyebabkan demineralisasi email (Budiharjo, 2005).
d.      Faktor waktu
 Secara umum, karies dianggap sebagai penyakit kronis pada manusia yang berkembang dalam waktu beberapa bulan atau tahun. Adanya kemampuan saliva untuk mendepositkan kembali mineral selama berlangsungnya proses karies, menandakan bahwa proses karies tersebut terdiri atas perusakan dan perbaikan yang silih berganti. Adanya saliva di dalam lingkungan gigi mengakibatkan karies tidak menghancurkan gigi dalam hitungan hari atau minggu, melainkan dalam bulan atau tahun. Lamanya waktu yang dibutuhkan karies untuk berkembang menjadi suatu kavitas cukup bervariasi, diperkirakan 6-48 bulan. Dengan demikian sebenarnya terdapat kesempatan yang baik untuk menghentikan penyakit ini (Manson, 2005).
e.      Kebiasaan makan
Pada zaman modern ini, banyak kita jumpai jenis-jenis makanan yang bersifat manis, lunak dan mudah melekat misalnya permen, coklat, bolu, biscuit dan lain-lain. Di mana biasanya makanan ini sangat disukai oleh anak-anak. Makanan ini karena sifatnya yang lunak maka tidak perlu pengunyahan sehingga gampang melekat pada gigi dan bila tidak segera dibersihkan maka akan terjadi proses kimia bersama dengan bakteri dan air ludah yang dapat merusak email gigi (Hamada, 2008).
Kebiasaan makan dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar manusia seperti lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya serta lingkungan ekonomi. Faktor intrinsik merupakan faktor yang berasal dari dalam diri manusia, seperti: asosiasi emosional, keadaan jasmani dan kejiwaan yang sedang sakit serta penilaian yang lebih terhadap mutu makanan juga merupakan faktor intrinsik (Hamada, 2008).
Penelitian Nizel (1981) pada anak umur 6 tahun di Inggris menunjukkan bahwa makanan yang berbentuk lunak dan lengket dapat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit karies gigi. Zat gizi seperti vitamin dan mineral, protein hewani dan nabati, serta karbohidrat yang terkandung dalam makanan sehari-hari dapat mempengaruhi terjadinya penyakit karies gigi. Hal ini yang perlu mendapat perhatian tidak hanya nutrisi saja, tetapi cara mengonsumsi jenis makanan dan waktu pemberian, karena semua ini akan mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Sukrosa adalah salah satu jenis karbohidrat yang terkandung dalam makanan lainnya yang merupakan substrat untuk pertumbuhan bakteri yang pada akhirnya akan meningkatkan proses terjadinya karies gigi (Karisma, 2008).
4.      Faktor-faktor yang mempengaruhi karies gigi
a.      Umur.
Hasil studi menunjukkan bahwa lesi karies dimulai lebih sering pada umur yang spesifik. Hal ini berlaku terutama sekali pada umur anak-anak namun juga pada orang dewasa (Cahyati, 2008).
b.      Jenis kelamin
Dari pengamatan yang dilakukan Milhann-Turkeheim pada gigi M1, didapat hasil bahwa persentase karies gigi pada wanita adalah lebih tinggi dibanding pria. Selama masa kanak-kanak dan remaja, wanita menunjukkan nilai DMF-T yang lebih tinggi daripada pria. Walaupun demikian, umumnya oral higiene wanita lebih baik sehingga komponen gigi yang hilang (M=Missing) lebih sedikit (Cahyati, 2008).
c.      Sosial ekonomi
Karies dijumpai lebih rendah pada kelompok sosial ekonomi rendah dan sebaliknya. Hal ini dikaitkan dengan lebih besarnya minat hidup sehat pada kelompok sosial ekonomi tinggi. Menurut Tirthankar (2002), yang dikutif oleh Darwita (2011) menyatakan bahwa ada dua faktor sosial ekonomi yaitu pekerjaan dan pendidikan. Pendidikan adalah faktor kedua terbesar yang mempengaruhi status kesehatan. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang kesehatan sehingga akan mempengaruhi perilakunya untuk hidup sehat (Darwita, 2011).
d.      Penggunaan fluor
Penggunaan fluor sangat efektif untuk menurunkan prevalensi karies, walaupun penggunaan fluor tidaklah merupakan             satu-satunya cara pencegahan (Darwita, 2011).
e.      Pola makan
Setiap kali seseorang mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung karbohidrat, maka beberapa bakteri penyebab karies di rongga mulut akan mulai memproduksi asam sehingga pH saliva menurun dan terjadi demineralisasi yang berlangsung selama 20-30 menit setelah makan. Di antara periode makan, saliva akan bekerja menetralisir asam dan membantu proses remineralisasi. Namun, apabila makanan berkarbonat terlalu sering dikonsumsi, maka email gigi tidak akan mempunyai kesempatan untuk melakukan remineralisasi dengan sempurna sehingga terjadi karies (Hamada, 2008).
f.       Kebersihan mulut
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu komponen dalam pembentukan karies adalah plak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan menyikat giginya dengan teratur setiap habis makan, waktu bangun tidur, dan malam pada waktu sebelum tidur, ternyata dapat meningkatkan kebersihan mulut dan mencegah karies gigi (Hamada, 2008).
g.      Merokok
Nicotine yang dihasilkan oleh tembakau dalam rokok dapat menekan aliran saliva, yang menyebabkan aktivitas karies meningkat. Dalam hal ini karies ditemukan lebih tinggi pada
perokok dibandingkan dengan bukan perokok (Pratiwi, 2007).
5.      Klasifikasi karies gigi
1)     Karies superfisialis, yaitu karies yang baru mengenai enamel dan belum sampai pada dentin.
2)     Karies media, karies yang sudah sampai pada dentin tapi belum melebihi setengah dentin.
3)     Karies profunda, yakni karies yang sudah melebihi setengah dentin bahkan terkadang sudah sampai pada pulpa (Cahyati, 2008).
6.      Pencegahan karies gigi
1)     Pencegahan primordial, yaitu tindakan ini ditujukan pada kesempurnaan struktur enamel dan dentin atau gigi pada umumnya. Seperti kita ketahui yang mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan gigi kecuali protein untuk pembentukan matriks gigi, vitamin (vitamin A, vitamin C, vitamin D) dan mineral (Calcium, Phosfor, Fluor, dan Magnesium) juga dibutuhkan. Pada ibu-ibu yang sedang mengandung sebaiknya diberikan kalsium yang diberikan dalam bentuk tablet, dan air minum yang mengandung fluor karena hal ini akan berpengaruh terhadap pembentukan enamel dan dentin bayi yang akan dilahirkan (Hamada, 2008).
2)     Pencegahan primer, merupakan upaya meningkatkan kesehatan (health promotion), meliputi upaya promosi kesehatan meliputi pengajaran tentang cara menyingkirkan plak yang efektif atau cara menyikat gigi dengan pasta gigi yang mengandung fluor dan menggunakan benang gigi (dental floss). Memberikan perlindungan khusus (spesific protection), meliputi upaya perlindungan khusus yaitu untuk melindungi host dari serangan penyakit dengan membangun penghalang untuk melawan mikroorganisme. Aplikasi pit dan fisur silen merupakan upaya perlindungan khusus untuk mencegah karies (Hamada, 2008).
3)     Pencegahan sekunder, yaitu untuk menghambat atau mencegah penyakit agar tidak berkembang atau kambuh lagi. Kegiatannya ditujukan pada diagnosa dini dan pengobatan yang tepat. Sebagai contoh melakukan penambalan pada gigi dengan lesi karies yang kecil dapat mencegah kehilangan struktur gigi yang luas. Diantara tindakan yang dapat dilakukan seperti diagnosis dini, penambalan, dan pencegahan (Hamada, 2008).
4)     Pencegahan tersier, adalah pelayanan yang ditujukan terhadap akhir dari patogenesis penyakit yang dilakukan untuk mencegah kehilangan fungsi, yang meliputi pembatasan cacat (Disability Limitation), merupakan tindakan pengobatan yang parah, misalnya pulp capping, pengobatan urat syaraf (perawatan saluran akar), pencabutan gigi dan sebagainya. Rehabilitasi (Rehabilitation), merupakan upaya pemulihan atau pengembalian fungsi dan bentuk sesuai dengan aslinya, misalnya pembuatan gigi tiruan (protesa) (Hamada, 2008).
7.      Dampak karies gigi
Karies gigi yang diderita seseorang akan menimbulkan gejala dan akibat yang berbeda sesuai dengan klasifikasinya, namun secara umum, jika karies gigi maka akan menimbulkan seperti keterbatasan fungsi gigi (sulit mengunyah, makanan tersangkut, nafas berbau, pencernaan terganggu), disabilitas fisik (diet tidak efektif, terpaksa menghindari makanan tertentu, tidak dapat menggosok gigi dengan baik), rasa sakit (sakit kepala, infeksi dan radang), ketidaknyamanan psikis (merasa rendah diri dan sangat khawatir), dan disabilitas psikis seperti susah tidur dan sulit konsentrasi (Tampubolon, 2006).
8.      Perawatan kesehatan gigi dan mulut
Sebaiknya merawat gigi sejak dini. Jangan menunggu gigi bermasalah baru kemudian mengunjungi dokter gigi. Gigi yang dirawat sejak dini akan lebih sehat dan bebas dari masalah-masalah dan gangguan kesehatan gigi saat kita dewasa (Anastasia, 2005).
Perawatan gigi dan mulut seharusnya dimulai sejak gigi pertama anak tumbuh sekitar 6 bulan. Bersihkanlah mulut bayi ketika selesai menyusu, terutama bila bayi minum susu formula. Bersihkanlah dengan menggunakan jari telunjuk ibu yang dibungkus kasa yang telah dicelupkan ke dalam air hangat, atau menggunakan sikat khusus bayi. Bersihkan juga lidah dan gusi bayi. Sisa-sisa susu yang mengumpul pada lidah dan gusi bila tidak dibersihkan akan menjadi tempat bakteri dan jamur berkembang biak. Apabila gigi bayi sudah biasa dibersihkan, maka pengenalan sikat gigi biasa pada anak menjadi tidak terlalu sulit. ketika masih bayi tidak perlu menggunakan pasta gigi (Anastasia, 2005).
Pasta gigi yang mengandung fluor baru boleh diberikan kepada anak-anak setelah mareka bisa berkumur dan membuang air kumurannya, kira-kira ketika sudah berumur 3,5 sampai 4 tahun. Namun dalam proses menyikat gigi harus tetap dalam pengawasan orang tua. Beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam merawat kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut (Anastasia, 2005).
a.      Menggosok gigi (brushing)
Sebaiknya menggosok gigi 2 kali sehari, yaitu sesudah sarapan dan sebelum tidur malam hari. Ketika tidur, mulut tertutup dan menyebabkan air liur tidak bersirkulasi, bakteri akan berkembang biak dua kali lipat lebih banyak. Bakteri yang semakin banyak akan merusak gigi dan gusi. Oleh karena itu, sikat gigi sebelum tidur sangat penting untuk menghindari terjadinya gangguan gigi dan gusi yang lebih buruk (Angela, 2005).
Diluar jadual rutin 2 kali sehari, sebaiknya segera menyikat gigi setelah mengonsumsi makanan yang manis dan lengket. Sisa makanan manis yang tidak segera dibersihkan menjadi penyebab utama terjadinya gigi berlubang. Begitu pula makanan yang lengket, makanan ini harus segera dibersihkan agar tidak tertimbun dan semakin sulit dibersihkan nantinya (Angela, 2005).
beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam menggosok gigi adalah :
1)     Pilihlah sikat gigi yang mempunyai bulu sikat yang lembut. Banyak orang yang beranggapan bahwa semakin keras menyikat gigi akan semakin bersih hasilnya. Anggapan ini salah karena menyikat gigi dengan keras akan menyebabkan terkikisnya email (lapisan pelindung) gigi (Anastasia, 2005).
2)     Terapkanlah cara menyikat gigi yang baik dan benar. Sikatlah gigi dengan arah ke atas lalu ke bawah atau dari arah gusi ke arah ujung gigi (Angela, 2005).
3)     Ganti sikat gigi Anda tiga bulan sekali atau bila bulu sikat sudah mekar. Penempatan sikat gigi pun harus diperhatikan. Letakkanlah sikat gigi di dalam kamar mandi dengan wadah tertutup untuk menghindari kontaminasi kuman dan bakteri (Hamada, 2008).



b.      Pemeriksaan ke dokter gigi
Pemeriksaan ke dokter gigi dianjurkan 6 bulan sekali, terutama pada anak usia sekolah, karena pada masa ini terjadi pergantian dari gigi susu ke gigi permanen. pemeriksaan rutin ke dokter gigi sangat penting, untuk mencegah terjadinya karies gigi dan gangguan kesehatan gigi lainnya (Hamada, 2008)..
c.      Mengatur makanan
Untuk melindungi gigi agar tidak rusak, sebaiknya beberapa makanan berikut ini harus dihindari :
1)     Makanan yang mengandung cuka, karena bersifat korosif. Bila ini bersatu dengan saliva yang juga mempunyai sifat asam maka akan mengikis gigi. Oleh sebab itu, segeralah minum air setelah makan makanan asam atau mengandung cuka (Asmawati, 2007).
2)     Hindari terlalu sering mengkonsumsi makanan yang mengandung gula tinggi. Sisa gula akan menempel di gigi. Setelah berakumulasi dengan saliva dan zat lainnya dapat menimbulkan plak. Jika dibiarkan, lama-lama menyebabkan karies. Hal yang sama pada makanan yang mengandung tepung dan coklat, karena sifatnya yang lengket menjadi terakumulasi dan tahap demi tahap menyebabkan kerusakan gigi (Hamada, 2008).
Minum air putih sangatlah penting, karena mampu menetralkan keadaan asam di dalam mulut akibat fermentasi makanan serta dapat membantu gigi menjadi bersih. Minum air teh dapat mencegah karies gigi, karena teh mengandung flour dan zat polif enol (Hamada, 2008).
Konsumsi makanan yang mengandung tinggi kalsium, fospor, vitamin C, vitamin D seperti susu, keju, yogurt, telur, sayur, buah dan lain-lain. Karena dapat membantu membentuk serta menguatkan tulang dan gigi (Hamada, 2008).
d.      Penggunaan Flouride
Salah satu substansi yang sering ditambahkan pada pasta gigi adalah senyawa fluoride yang berguna untuk membuat gigi lebih resisten terhadap kekeroposan atau mencegah gigi berlubang dan juga untuk mendukung remineralisasi. Dari hasil kajian terhadap 74 penelitian yang melibatkan lebih dari 42.000 anak di bawah usia 16 tahun dinyatakan bahwa anak-anak yang menggosok gigi menggunakan pasta gigi berfluoride kemungkinan gigi berlubang berkurang 24% dibanding dengan yang menggunakan pasta gigi tidak berfluoride (Hamada, 2008).
Senyawa fluoride adalah suatu garam fluoride yang banyak sekali terdapat di dalam alam dapat berupa sodium fluoride, calcium fluoride, ammonium fluoride, aluminium fluoride, ammonium fluorosilikat, ammonium fluorofosfat, hexadesil ammonium fluoride, magnesium fluoride dan garam-garam lainnya (Hamada, 2008).
Selain kegunaan yang telah dijelaskan ternyata penggunaan dan pemasukan senyawa fluoride yang berlebihan ke dalam tubuh juga mempunyai resiko buruk, yaitu diantaranya fluorisis gigi. Fluorisis gigi terjadi karena seorang anak menerima terlalu banyak senyawa fluor selama masa pembentukan gigi yaitu pada periode waktu 3 bulan sampai 8 tahun, sedangkan untuk anak berusia di atas 8 tahun sudah tidak ada resiko seperti ini (Hamada,2008).
Indonesia telah menetapkan bahwa jumlah senyawa fluoride yang boleh terkandung dalam pasta gigi tidak boleh lebih dari 0,15% atau 1500 ppm dihitung dari kadar total F (fluor). Hal ini sejalan dengan yang telah ditetapkan oleh negara-negara di ASEAN, kecuali Thailand. Thailand menetapkan kadar fluoride dalam pasta gigi tidak boleh lebih dari 0,11% atau 1100 ppm, disebabkan karena kandungan fluoride pada air minum di Thailand sudah cukup tinggi. Sedangkan untuk pasta gigi anak-anak kandungan fluoridenya harus kurang dari 0,1% atau 1000 ppm (Hamada,2008).
e.      Penggunaan benang gigi (flossing)
Flossing (benang gigi) adalah bagian penting dari perawatan gigi sehari-hari yang dilakukan untuk menghilangkan plak dan    sisa-sisa makanan dari sela gigi, bracket dan kawat gigi. Flossing menjaga gigi dan gusi tetap bersih dan sehat (Hamada,2008).
Flossing adalah tindakan pembersihan plak dan sisa makanan yang menempel pada gigi dengan melalui alat bantu berupa benang gigi maupun sikat interdental. Flossing sangat berguna bagi kesehatan dan kelangsungan vitalitas gigi. Dengan melakukan flossing minimal 2 kali sehari, gigi kita terjaga kebersihannya pada setiap permukaannya. Flossing membantu mengurangi angka kejadian karies gigi secara signifikan, terutama bagi kasus karies interdental (Hamada,2008).
Macam-macam dental floss diantaranya berupa benang gigi dan sikat interdental, yang masing-masing penggunaannya berbeda berdasarkan besarnya celah antar gigi. Benang gigi dipergunakan bagi keadaan dimana celah gigi sangat rapat sehingga alat bantu lain misalnya tusuk gigi tidak dapat menjangkaunya.
Lain dengan benang gigi, sikat interdental digunakan pada keadaan dimana celah antar gigi longgar atau sangat longgar (Hamada,2008).
1.      Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku perawatan gigi dan mulut       
a.      Faktor internal
1)     Usia
Usia erat hubungannya dengan tingkat kedewasaan teknik maupun psikologis. Usia berbanding lurus dengan pengetahuan yang dimiliki. Seiring dengan bertambahnya usia, diharapkan perilaku perawatan gigi dan mulut seseorang semakin baik (Dewanti, 2012).
2)     Jenis kelamin
Dari kebiasaan sehari-hari menunjukkan bahwa perempuan lebih rajin dan teliti membersihkan gigi dan mulut dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini mungkin desebabkan karena kodrat dasar seorang perempuan yang memiliki sifat feminim dan lebih memperhatikan aspek estetika dibandingkan dengan laki-laki (Sintawati, 2009).
3)     Pengalaman
Pengalaman merupakan pelajaran yang paling berharga dalam kehidupan seseorang. Kebiasaan baik dalam hal menjaga kebersihan gigi dan mulut sejak usia dini diyakini mampu membentuk perilaku baik dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut setelah dewasa (Hamada, 2008).
4)     Motivasi
Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan. Berkenaan dengan kebersihan gigi dan mulut, Mutlak mengupayakan pemahaman-pengertian, serta memunculkan kesadaran dan motivasi kuat dari diri sendiri tentang pentingnya kesehatan gigi-geligi dan rongga mulut bagi diri sendiri sebagai bagian tidak terpisahkan dari kesehatan tubuh (Rumini, 2006).
b.      Faktor Eksternal
1)     Peran orang tua
Agar anak telaten membiasakan menjaga kesehatan gigi dan mulutnya, peran orangtua merupakan ujung tombak dari keberhasilan upaya ini. Orangtua jangan lelah untuk terus mengupayakan perawatan sejak dini pada anak. Sebagain orangtua menganggap perawatan gigi dan mulut tidak sepenting memenuhi kebutuhan lain dari anaknya. Padahal, kesehatan gigi anak seharusnya perlu dijaga sejak pertama kali tumbuh. Hal itu karena, bila anak-anak sudah bisa berperilaku sehat sejak kecil, kebiasaan itu akan berlanjut sampai ia dewasa (Nawawi, 2013).
2)     Tingkat pengetahuan
Pengetahuan merupakan dasar terbentuknya perilaku. Seseorang dikatakan kurang pengetahuan, apabila dia tidak mampu mengenal, menjelaskan, dan menganalisis suatu keadaan. Orang yang berpengetahuan baik tentang kesehatan gigi dan mulut, seharusnya memiliki perhatian yang lebih dalam  menjaga kesehatan gigi dan mulut (Dewanti, 2008).


3)     Fasiltas
Fasilitas sebagai dapat sebagai sarana informasi atau peralatan tertentu yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2010). Dengan adanya fasilitas internet, buku, dan lain-lain, memungkinkan seseorang mendapatkan informasi tentang kesehatan gigi dan mulut serta cara perawatannya, sehingga akan mempengaruhi pereilaku seseorang dalam perawatan gigi dan mulut. Selain itu, keberadaan fasilitas atau peralatan juga sangat mempengaruhi perilaku menjaga kesehatan gigi dan mulut (Anastasia, 2005).
4)     Penghasilan
Penghasilan secara langsung mempengaruhi kemampuan menyediakan fasilitas perawatan gigi dan mulut, termasuk mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan pemeriksaan gigi secara rutin (Dewanti, 2008).
5)     Sosial budaya
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Budaya membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak. Budaya juga merupakan kebiasaan yang sudah menjadi perilaku permanen (Rakhmat, 2006). Kebiasaan dalam sebuah keluarga, seperti gosok gigi setelah makan dan sebelum tidur merupakan contoh perilaku yang bisa dikatakan sudah menjadi budaya dalam keluarga (Rakhmat, 2006).

F.    Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar
Anak usia sekolah dasar adalah anak yang berada pada usia-usia sekolah dasar. Masa usia sekolah sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia 6 hingga kira-kira usia 12 tahun. Karakteristik utama usia sekolah adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam banyak segi dan bidang, diantaranya perbedaan dalam intelegensi, kemampuan dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik (Wong, 2009).
Masa usia sekolah adalah babak terakhir bagi periode perkembangan dimana manusia masih digolongkan sebagai anak masa usia sekolah dikenal juga sebagai masa tengah dan akhir dari masa kanak-kanak, pada masa inilah anak paling siap untuk belajar. Mereka ingin menciptakan sesuatu, bahkan berusaha untuk dapat membuat sesuatu sebaik-baiknya, ingin sempurna dalam segala hal. Pada masa ini anak menjalani sebagian besar dari kehidupannya di sekolah yaitu di Sekolah Dasar. pada masa ini dikatakan pula sebagai masa konsolidasi. Masa usia sekolah dasar sering pula disebut sebagai masa intelektual atau masa keserasian sekolah. Pada masa keserasian sekolah ini secara relatif anak-anak lebih mudah dididik dari pada sebelumnya dan sesudahnya. Masa ini dapat dirinci lagi menjadi 2 fase, yaitu masa kelas-kelas rendah sekolah dasar kira-kira umur 6 atau 7 tahun sampai umur 9 atau 10 tahun, dan masa kela-kelas tinggi sekolah dasar kira-kira umur 9 tahun 10 tahun sampai kira-kira umur 12 atau 13 tahun (Somantri, 2004).
1.      Karakteristik anak pada masa kelas-kelas rendah sekolah dasar
Beberapa sifat khas anak pada masa ini antara lain adalah adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi sekolah. Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan yang tradisional. Ada kecenderungan menuju diri sendiri. Suka membandingkan dirinya dengan anak lain ada kecenderungan meremehkan anak lain. Kalau tidak dapat menyelesaikan sesuatu hal, maka soal itu dianggapnya tidak penting. Pada masa ini anak menghendaki nilai raport yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai atau tidak (Angela, 2005)
2.      Karakteristik anak pada masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar
Beberapa sifat khas anak-anak pada masa ini adalah berminat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret. Sangat realistis, ingin tahu, ingin belajar. Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata pelajaran khusus. Sampai kira-kira umur 2 tahun anak dapat membutuhkan seorang guru/orang-orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya dan memenuhi keinginannya. Setelah kira-kira umur 2 tahun pada umumnya anak menghadapi tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikannya sendiri. Pada masa ini anak memandang (nilai raport) sebagai ukuran yang tepat (sebaik-baiknya) mengenai prestasi sekolah. Gemar membentuk kelompok sebaya biasanya untuk dapat bermain bersama-sama. Mengembangkan kata hati, moralitas suatu skala nilai-nilai      (Soemantri, 2004).
3.      Perkembangan fisik/jasmani
   Perkembangan fisik mencakup aspek-aspek anatomis dan fisiologis. Perkembangan anatomis ditujukan dengan adanya kuantitatif pada struktur tulang-berulang. Indeks tinggi dan berat badan, proporsi tinggi kepala dengan tinggi garis keajegan badan secara keseluruhan. Tulang-berulang pada masa ini berjumlah 27 yang masih rentur, berpori dan persambungannya longgar. Berat badan tinggi badan pada masa kanak-kanak sekitar 12-15 kg dan 90-120 cm (Wong, 2009).
Perkembangan fisiologi ditandai dengan adanya              perubahan-perubahan secara kuantitatif, kualitatif dan fungsional dari sistem-sistem kerja hayati seperti konstraksi otot, peredaran darah dan pernafasan, persyarafan, sekresi kelenjar dan pencernaan. Otot sebagai pengontrol motorik. Persentase tingkat kesempurnaan perkembangan secara fungsional. Keaktifan dan tingkat kematangannya sekresi tubuh (wong, 2009)
4.      Perkembangan prilaku psikomotorik
Wong (2009) mengatakan bahwa prilaku psikomotorik memerlukan adanya koordinasi fungsional antara neuronmuscular system (persyarafan dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, konatif). Ada dua macam perilaku psikomotorik utama yang bersifat universal harus dikuasai oleh setiap individu pada masa bayi atau awal masa kanak-kanaknya ialah berjalan (walking) dan memegang benda (prehensian). Kedua jenis keterampilan psikomotorik ini merupakan basis bagi perkembangan keterampilan yang lebih kompleks seperti yang kita kenal dengan sebutan bermain (playing) dan bekeja (working).


5.      Pertumbuhan selama pertengahan masa  kanak-kanak
Tingkat Pertumbuhan anak-anak sangat berbeda antara ras, bangsa dan tingkat sosial ekonominya. Pertumbuhan juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan mereka. Anak-anak yang tumbuh paling tinggi biasanya dalam hidupnya tidak mengalami kekurangan gizi atau infeksi penyakit yang merupakan masalah utama dalam kehidupan (Asmawati, 2007).
Kekurangan nutrisi dapat mengakibatkan pertumbuhan yang lamban, karena nutrisi tersebut hanya untuk mempertahankan hidup dan energi, sedangkan protein lebih untuk meningkatkan pertumbuhan. Apabila makanan tidak dapat mendukung kedua proses tersebut sepenuhnya maka pertumbuhannya menjadi tidak optimal. Pemberian vaksinasi sangat baik bagi anak-anak usia pertengahan dari pada yang rendah usianya. Terbukti dengan adanya imunisasi di sekolah        (wong, 2009).
6.      Beberapa aspek kesehatan dan kebugaran masa kanak-kanak
a.      Obesity
Penyebab obesity yaitu karena banyak makan dan kurang berolahraga (Wong, 2009).
b.      Kondisi medis pada masa kanak-kanak
Pada umumnya anak-anak mendapat sakit akut dalam waktu singkat dengan berbagai usia medis, biasanya terkena virus (flu), selain itu ada juga sakit ternggorokan, radang tenggorokan, infeksi telinga dan gangguan emosional (Asmawati, 2007).
c.      Penglihatan
Pada anak usia sekolah, penglihatannya lebih tajam dari pada waktu sebelumnya. Mereka cenderung lebih matang dan dapat memfokuskan penglihatan lebih baik (Asmawati 2007).
d.      Kesehatan Gigi
Anak usia 6 tahun mengalami tanggal giginya yang pertama kali, selanjutnya diganti dengan gigi yang tetap setiap tahun sebanyak empat gigi untuk tahun kelima berikutnya gangguan pada gigi yang biasanya dialami anak usia ini yaitu kerusakan gigi dan juga gigi  tanggal (Hamada, 2008).             
e.      Kebugaran Anak
Memelihara kebugaran anak sangat penting hal ini bisa dilakukan dengan cara berenang, senam, lari, berjalan kaki, bersepeda. Hal ini untuk menjaga kesehatan  jantung dan paru-paru (Hamada, 2008).  
7.      Perkembangan intelektual (IQ) dan emosional (EQ)
a.      Perkembangan Intelektual (IQ)
1)     Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget anak usia antara 5-7 tahun memasuki tahap operasi konkret (concrete operations) yaitu pada waktu anak dapat berikir secara logik mengenai segala sesuatu. Pada umumnya mereka pada tahap ini sampai kira-kira 2 tahun (Yusuf, 2009).
2)     Berpikir Operasional
Melakukan berbagai bentuk operasional yaitu kemampuan aktivitas mental sebagai kebalikan dari aktivitas jasmani. Pada tahap operasionak konkret anak-anak sudah mulai bekerja denga angka-angka, mengetahui konsep-konsep waktu dan ruang dan dapat membedakan kenyataan dengan hal-hal yang bersifat fantasi. Anak-anak usia sekolah lebih dapat berpikir secara logik dari pada waktu mereka masih muda. Seorang anak pada periode perkembangan ini telah mampu menggunakan simbol untuk melakukan sesuatu (Yusuf, 2009).
Pada periode berpikir ini pula anak-anak mulai mampu melakukan “Perpisahan mereka memperhitungkan berbagai aspek yang ada sebelum mengambil suatu kesimpulan dan tidak lagi hanya terpukau kepada satu aspek saja seperti pada pemikiran praoperasional. Mereka meningkatkan pengertian bahwa adanya sudut pandangan orang lain memungkinkan mereka untuk berkomunikasi secara efektif dan memungkinkan mereka untuk bersikap  lebih luwes  dalam sikap moral mereka (Yusuf, 2009).


3)     Konservasi
Konservasi adalah salah satu kemampuan yang penting yang dapat mengembangkan berbagai opemasi pada tahap konkret. Dengan kata lain konservasi adalah kemampuan untuk mengenal atau mengetahui bahwa dua bilangan yang sama akan tetap sama dalam substansi berat atau volume selama tidak ditambah atau dikurangi (Umar, 2011).
Anak pada usia sekolah dasar sudah mampu melakukan konservasi karena sudah memahami konsep bolak-balik (reversibility) konsep bahwa ia dapat mengembalikan benda kebentuknya yang semula tanpa (ditambah atau dikurangi). Kemampuan konservasi di mungkinkan untuk berkembang jika sistem syaraf sudah cukup matang dan mendukung kemampuan. Selain itu anak dapat melakukan konservasi adalah anak yang nilai rapornya lebih tinggi, IQ nya tinggi kemampuan verbalnya baik, dan ibu yang aktif jadi, disini tampaklah suatu peningkatan kualitatif cara berpikir anak (Umar, 2011). 
4)     Seriasi
Seriasi juga adalah satu ciri perkembangan kognitif anak usia sekolah, yaitu memahami suatu seri posisi, seriasi ini juga berlaku untuk berbagai dimensi, yaitu dimensi tinggi, panjang atau ukuran, Artinya anak usia SD mampu menyusun benda mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah   (Yusuf, 2009).      
5)     Klasifikasi dari obyek-obyek, yaitu kemampuan untuk memilih sub kelompok (Mirna, 2013).
6)     Konsep Angka
b.      Perkembangan Emosional (EQ)
Pada masa anak sekolah dasar (school age), pada masa ini ia pada umumnya  mulai dituntut untuk dapat mengerjakan atau menyelesaikan sesuatu dengan baik bahkan sempurna. Kemampuan melakukan hal-hal tersebut menumbuhkan kepercayaan atas kecakapannya menyelesaikan sesuatu tugas. Kalau tidak pada akan tumbuh/menimbulkan perasaan rendah diri (inferiority) yang akan dibawanya pada taraf perkembangan selanjutnya (Yusuf, 2009).
Pada masa ini anak usia SD mulai mengalami ketidak senangan berdiferensiasi di dalam rasa malu cemas dan kecewa sedangkan kesenangan, berdiferensiasi ke dalam harapan dan kasih orang. Oleh karena itu, tidak heran kalau terdapat siswa-siswi yang membenci atau menyenangi guru atau bidang studi tertentu, bergantung pada kemampuan guru untuk menyelenggarakan conditioning reinforcement aspek-aspek emosional tersebut. Gejala “seperti takut, cemas, marah, sedih, iri cemburu, senang, kasih sayang, simpati merupakan beberapa proses manifestasi dari keadaan emosional pada diri seseorang (Yusuf, 2009).
Aspek emosional dari suatu perilaku melibatkan 3 variable yaitu rangsangan yang menimbulkan emosi (the stimulus variable), perubahan-perubahan fisiologis variable yang terjadi bila mengalami emosi (the organismic variable), dan pola sambutan ekspresi atas terjadinya pengalaman emosional itu (Mirna, 2013)
1)     Gangguan emosional pada kanak-kanak
Ada beberapa gangguan emosional pada masa         kanak-kanak sehingga terkesan dan sebagai penyebab ketakutan kanak-kanak untuk melakukan suatu kegiatan. Salah satu contohnya yaitu pada suasana yang gelap sehingga membuat anak merasa takut melakukan sesuatu pada malam hari diluar rumah. Dan biasanya untuk menanggulangi masalah ini ditanggulangi oleh psikiater (Yusuf, 2009).
2)     Beberapa tipe masalah emosional
Kebrutalan atau kebingungan anak akan nampak pada perilakunya, misalnya: berkelahi, berbohong, mencuri dan merusak aturan yang berlaku. Bentuk-bentuk tindakan tersebut merupakan ekspresi yang keluar dari emosional yang terganggu (Yusuf, 2009).


3)     Gangguan kecemasan
Gangguan kecemasan yang dialami anak-anak dapat berupa gangguan keinginan terpisah dan ketakutan (phobia) sekolah, Gangguan keinginan terpisah dari orang terdekat berakibat anak mengalami sakit kepala, sakit perut, dan sebagainya (Natamiharja, 2008). 
4)     Takut sekolah
Ketakutan terhadap guru yang keras (galak) atau mendapat tugas yang berat di sekolah merupakan salah satu ketakutan pada anak, ketakutan anak tersebut adalah wajar. Hal ini disebabkan karena lingkungan yang tidak kondusif (Natamiharja, 2008).
5)     Kematangan sekolah
Kematangan Sekolah ini ditandai apabila anak telah mencapai perkembangan fisik sebagai dasar yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan segala sesuatu disekolah, perkembangan kognitif yang memadai juga sangat dibutuhkan selain itu anak juga telah mampu mengembangkan hubungan emosional yang sehat dengan orang lain (Natamiharja, 2008).
6)     Depresi pada masa kanak-kanak
Gejala-gejala depresi antara lain gangguan konsentrasi, tidur kurang, selera makan kurang, mulai berbuat kejelekan disekolah, tidak merasa bahagia, selalu mengeluh karena penyakit jasmani yang dideritanya, selalu merasa bersalah (Mirna, 2013).

G.   Konsep Dasar Perilaku
Perilaku adalah kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku merupakan aktivitas manusia itu sendiri. Ada 2 hal yang mempengaruhi perilaku, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik merupakan konsepsi dasar atau modal utama perkembangan perilaku selanjutnya, dimana lingkungan sebagai lahan perkembangan perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Ian Pavlov dalam Herri (2010), perilaku adalah keseluruhan atau totalitas kegiatan akibat belajar dari pengalaman sebelumnya dan dipelajari melalui proses penguatan dan pengkondisian. perilaku juga merupakan reaksi manusia akibat kegiatan kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (tindakan) yang saling berkaitan. Jika salah satu aspek mengalami hambatan, maka perilaku juga terganggu.
Skinner (1938) yang dikutip Notoatmodjo (2007) mengemukakan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara rangsangan dan respon. Terdapat 2 respon yang ditimbulkan rangsangan, yaitu respondent respons (timbul karena rangsangan tertentu, dimana responnya relatif tetap) dan operant respons (respon yang timbul karena adanya respon terdahulu).
Bloom (1908) membagi perilaku kedalam 3 komponen, yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. Ketiga komponen tersebut akan selalu berhubungan serta saling menguatkan dalam membentuk perilaku           (Herri 2010).
1.      Aspek-aspek perilaku
a.      Pengamatan
Pengamatan merupakan proses pengenalan objek-objek dengan cara melihat, mendengar, meraba, membau dan mengecap. Kegiatan ini biasa disebut sebagai modalitas pengamatan.      Aspek-aspek pengamatan terdiri dari penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap, dan rangsangan indra kulit (Herri, 2010).
b.      Perhatian
Notoatmodjo dalam Herri (2010) mengatakan bahwa perhatian adalah kondisi pemusatan energi psikis yang tertuju kepada objek dan dianggap sebagai kesadaran seseorang dalam aktivitas    (Herri, 2010).
c.      Fantasi
Fantasi merupakan kemampuan membentuk tanggapan yang telah ada. Namun tidak selamanya tanggapan itu selalu sama dengan tanggapan sebelumnya. misalnya, melalui fantasi orang tua menemukan metode dalam mengajarkan anaknya menyikat gigi (Herri, 2010).
d.      Ingatan
Jika seseorang tidak dapat mengingat apapun mengenai pengalamannya berarti tidak dapat belajar apapun meski hanya sebatas percakapan sederhana. Sebab dalam komunikasi diperlukan ingatan guna memunculkan setiap percakapan baru dan mengingat apa yang telah diucapkan sebelumnya (Herri, 2010).
e.      Tanggapan
Tanggapan adalah reaksi terhadap hasil penglihatan, pendengaran, penciuman, dan aspek yang tertinggal didalam ingatan. Tanggapan pada akhirnya mempengaruhi perilaku seseorang (Herri, 2010).
2.      Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan perilaku
a.      Teori kebutuhan
Pembentukkan perilaku manusia adalah akibat adanya kebutuhan. Atau bisa dikatakan bahwa kebutuhan merupakan motif yang mendorong seseorang berprilaku tertentu (Angela, 2005).
b.      Teori dorongan
Perilaku merupakan respon terhadap adanya stimulus dari luar diri (lingkungan), baik karena adanya stimulus tertentu yang relatif menetap, atau adanya stimulus yang memperkuat respon. Semakin kuat stimulus, semakin kuat terbentuknya perilaku (Darwita, 2011).
c.      Teori belajar
Pembentukan perilaku akibat interaksi  antara orang dengan lingkungannya dan adanya proses imitasi perilaku model. Peniruan perilaku model sangat dipengaruhi kesenangan, minat, keyakinan, karakter, sikap, atau perilaku dominan model (Anastasia, 2005).
d.      Teori sikap
Lowrence Green dalam Herri (2010) mengatakan bahwa pembentukan perilaku sangat dipengaruhi perilaku dalam diri dan perilaku luar diri. Perilaku manusia terbentuk akibat :
1)     Faktor predisposisi (predispossing factors), adalah faktor pencetus terjadinya suatu sebab, seperti pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.
2)     Faktor pendukung (enabling factors), merupakan faktor yang turut mendukung timbulnya suatu sebab, seperti lingkungan fisik dan fasilitas.
3)     Faktor pendorong (reinforcing factors), adalah faktor yang berhubungan dengan referensi sikap dan perilaku secara umum.
3.      Komponen-komponen perilaku
a.      Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Siswomihardjo (2005) menyatakan bahwa pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Perilaku manusia terbagi dalam 3 domain, yaitu domain kognitif, afektif dan psikomotor. Pengetahuan merupakan domain yang esensial dalam membentuk perilaku seseorang.
1)     Tingkat pengetahuan
Benjamin Bloom (1956), seorang ahli pendidikan, membuat klasifikasi (taxonomy) pertanyaan-pertanyaan yang dapat dipakai untuk merangsang proses berfikir pada manusia. Menurut Bloom kecakapan berfikir pada manusia dapat dibagi dalam 6 kategori yaitu : Pengetahuan (knowledge), mencakup ketrampilan mengingat kembali faktor-faktor yang pernah dipelajari (Notoatmodjo, 2007).
a)      Pemahaman (comprehension), meliputi pemahaman terhadap informasi yang ada.
b)      Penerapan (application), yaitu ketrampilan menerapkan informasi atau pengetahuan yang telah dipelajari ke dalam situasi yang baru.
c)      Analisis (analysis), merupakan pemilahan informasi menjadi   bagian-bagian atau meneliti dan mencoba memahami struktur informasi.
d)      Sintesis (synthesis), mencakup menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang sudah ada untuk menggabungkan elemen-elemen menjadi suatu pola yang tidak ada sebelumnya.
e)      Evaluasi (evaluation), meliputi pengambilan keputusan atau menyimpulkan berdasarkan kriteria-kriteria  yang ada biasanya pertanyaan memakai kata : pertimbangkanlah, bagaimana kesimpulannya.
2)     Pengukuran Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2005) pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau  angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden.
3)     Cara memperoleh pengetahuan
a)      Cara tradisional atau non ilmiah
(1)    Cara coba salah (Trial and error)
Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Pada waktu itu seseorang apabila menghadapi persoalan atau masalah, upaya pemecahannya dilakukan dengan coba-coba saja. Bahkan sampai sekarang pun metode ini masih sering dipergunakan, terutama oleh mereka yang belum atau tidak mengetahui suatu cara tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi      (Notoatmodjo, 2007).
(2)    Cara kekuasaan atau otoritas
Para pemegang otoritas, baik pemimpin pemerintahan, tokoh agama maupun ahli ilmu pengetahuan pada prinsipnya mempunyai mekanisme yang sama di dalam penemuan pengetahuan. Prinsip ini adalah orang lain menerima pendapat yang dikemukakan oleh orang mempunyai otoritas, tanpa terlebih dahulu menguji atau membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta empiris ataupun berdasarkan penalaran sendiri. Hal ini disebabkan karena orang yang menerima pendapat tersebut menganggap bahwa apa yang ditemukannya adalah sudah benar (Notoatmodjo, 2007).
(3)    Berdasarkan pengalaman pribadi
Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu (Nawawi, 2013).
(4)    Melalui jalan pikiran
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara pikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mempu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya (Notoatmodjo, 2007).
(5)    Cara modern atau cara ilmiah
Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian ilmiah (Notoatmodjo, 2007).
b.      Sikap
Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek atau isu, yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai sikap objek tadi. Sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang yaitu Komponen kognitif, afektif, dan konatif (Walgito, 2005).
1)     Komponen sikap
a)      Komponen kognitif, merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi ke percayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau proble m yang kontroversial (Walgito,2005).
b)      Komponen afektif, merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap    pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu (Walgito,2005).
c)      Komponen konatif, merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak/bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku (Walgito,2005).
2)     Tingkatan sikap
a)      Menerima (receiving), suatu keadaan dimana orang mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).
b)      Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas apakah pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu menerima ide tersebut (Sobur, 2006).
c)      Menghargai (valuing), yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah.
d)      Bertanggung jawab (responsible), yaitu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi (Sobur,2006).


3)     Sifat sikap
a)      Sikap positif, yaitu kecenderungan tindakan mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu.
b)      Sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu.
4)     Ciri – ciri sikap
a)      Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan itu dalam hubungan dengan obyeknya. Sifat ini membedakannnya dengan sifat motif-motif biogenis seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat (Devi, 2012).
b)      Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu (Devi, 2012).
c)      Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu objek dengan kata lain, sikap itu terbentuk, dipelajari atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu objek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas (Mirna, 2013).
d)      Objek sikap itu merupakan suatu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut          (Mirna, 2013).
e)      Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat alamiah yang membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang (Devi, 2012).
5)     Cara pengukuran sikap
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai obyek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap mungkin berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai obyek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan ini disebut dengan pernyataan yang favourable. Sebaliknya pernyataan sikap mungkin pula berisi hal-hal negatif mengenai obyek sikap yang bersifat tidak mendukung maupun kontra terhadap obyek sikap. Pernyataan seperti ini disebut dengan pernyataan yang tidak favourabel (Palupi, 2005).
Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan favorable dan tidak favorable dalam jumlah yang seimbang. Dengan demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif dan tidak semua negatif yang seolah-olah isi skala memihak atau tidak mendukung sama sekali obyek sikap (Notoatmodjo, 2007).
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat/pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-ernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Notoatmodjo, 2007).
6)     Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap
a)      Pengalaman pribadi
Merupakan dasar pembentukan sikap. Pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional (Soesanto,2007).
b)      Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut (Soesanto,2007).


c)      Pengaruh Kebudayaan
Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya (Soesanto,2007).
d)      Media Massa
Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyekstif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya (Soesanto,2007).
e)      Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah mengherankan jika kalau pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap (Soesanto,2007).
f)       Faktor Emosional
Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego (Soesanto,2007).
c.      Tindakan
Setelah seseorang mengetahui stimulus, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang telah di ketahui untuk dilaksanakan atau dipraktekan. Suatu sikap belum otomatis tewujud dalam suatu tindakan. Agar terwujud sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung berupa fasilitas dan dukungan dari pihak lain (Notoatmodjo, 2007).
Tindakan terdiri dari beberapa tingkat (Notoatmodjo 2007), yaitu :
1)     Presepsi, yaitu mekanisme mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.
2)     Respon Terpimpin, yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.
3)     Mekanisme, dapat melakukan sesuatu secara otomatis tanpa menunggu perintah atau ajakan orang lain.
Adopsi, Suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu telah dimodifikasikan tanpa mengurangi kebenaran dari tindakan tersebut





DAFTAR PUSTAKA


Amalia, R. (2011). Tingkatkan kesadaran pentingnya kesehatan gigi dan mulut anak. (online) http://www.umy.ac.id. Dakses tanggal 03 Juni Mei 2014.

Anastasia, S. (2005). Buku Ajar Periodonti. Jakarta, Rineka Cipta.

Angela, A. (2005). Pencegahan primer pada anak yang beresiko karies tinggi. Dental Jurnal. Vol. 38 No. 3 Hal. 130-4.
           

Asmawati (2007). Analisis hubungan karies gigi dan status gizi anak usia 10 – 11 tahun di SD Athirah, SDN 1 Bawakaraeng dan SDN 3 Bangkala. Dentofasial Jurnal. Vol. 6 No. 2 Hal 78–84.

Budiharjo (2005). Pemeliharaan Kesehatan Gigi Keluarga. Surabaya, Airlangga University Press.

Cahyati, W. H. (2008). Karies Gigi Pada Anak TK. Jakarta, Media Kesmas. vol. 4, no. 1.
Darwita, dkk. (2011). Efektifitas Program Sikat Gigi Bersama Terhadap Risiko Karies Gigi pada Murid Sekolah Dasar. Journal Indonesia Mededical  Association. Vol 61 No. 5 Hal. 15.

Devi, N. N. (2012). Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Wisatawan Terhadap Pemanfaatan Klinik Wisata (Studi Kasus Wisata Pantai Parangtritis Yogyakarta. Skripsi Tidak Diterbitkan. Semarang, Universitas Diponegoro.
           
Dewanti (2012). Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Kesehatan Gigi dengan Perilaku Perawatan Gigi pada Anak Usia Sekolah di SDN Pondok Cina 4 Depok. Skripsi Tidak Diterbitkan. Jakarta, Universitas Indonesia.

Dewi, M. (2010). Teori Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia, Yogyakarta, Nuha Medika.



Eva Rumini, (2006). Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Kesehatan Gigi dan Mulut  Terhadap kejadian karies gigi (Studi Kasus Pada SD Mlati I dan SD Sendang Adi I Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman Yokyakarta. Skripsi Tidak Diterbitkan. Semarang, Universitas Diponegoro.

Hamada, T. (2008). Menuju Gigi dan Mulut Sehat Pencegahan dan Pemeliharaan. Medan, USU Press.

Heri, Z. P. (2010). Pengantar Psikologi dalam Keperawatan. Jakarta, Prenada Media.

Hockenberry, M. J., & Wilson, D (2007). Wong's nursing care infants and children. St. Louis: Mosby Elsevier.

Indirawati, T. N., (2013). Penilaian Indeks DMF-T Anak Usia 12 Tahun oleh Dokter Gigi dan Bukan Dokter Gigi di Kabupaten Ketapang Propinsi Kalimantan Barat. Jakarta, Media Litbangkes Vol 23 No. 1 Hal 41-46.  

Karisma, T. (2008). Kapita Selekta Kedokteran Klinik. Jakarta, Karisma.

Kurniati, E. (2011). Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Karies Gigi Dan Perilaku Menggosok gigi Dengan Kejadian Karies gigi Pada Murid Kelas VI Sekolah Dasar Di Kecamatan Jombang. (online).  http://pasca.uns.ac.id. Diakses Tanggal 4 Juni 2014. 
           

Manson, B. (2005). Alih bahasa: S.Anastasia. Buku Ajar Periodonti. Jakarta, Hipokrates

Maysaroh, A. (2013). Hubungan Sikap dengan Kejadian Karies pada Siswa SDN 136 Pekan baru. Skripsi Tidak Diterbitkan. Pekan Baru, Universitas Riau.

Mikail, B., & Candra, A. (2011, September). 90 persen anak SD di Bangka sakit gigi. Oktober 4, 2011.

Mirah, (2013). Sesuai Data Global WHO Menunjukkan 60-90% Anak-Anak Sekolah di Negara Industri Memiliki Gigi Berlubang. (online). (http://www.unilever.co.id, diakses 3 Juni 2014).

Mirna, F. (2013). Hubungan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan gigi dengan Karies pada Pengunjung Poli Gigi Puskesmas Kenjeran. Jakarta. Skripsi Tidak Diterbitkan. Jakarta, Universitas Indonesia.

Natamiharja, L. (2008) Pengalaman Karies Gigi, Status Periodontal dan Perilaku Oral Hygiene pada Siswa Kelas VI SD, Kelas III SMP, dan Kelas III SMA Kecamatan Medan Baru. Medan, Dental Journal Vol. 13 No. 2 Hal. 131

Nawawi, Q. (2013). Jangan Remehkan Perawatan Gigi Susu sejak Dini. (Online). (http://health.okezone.com/read/.html diakses 21 Februari 2014).

Notoadmodjo. S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2007). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta, Rineka Cipta.
           

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta, Salemba Medika.

Palupi, I. D. (2005). Status Kesehatan Gigi pada Anak dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Gigi di SDN Karangsoko III Trenggalek. Karya Tulis Ilmiah tidak diterbitkan. Semarang, Program Diploma III Keperawatan UMM.

PDGI, (2009). Petunjuk Praktis Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut Keluarga. Jakarta : Brosur Kerjasama PDGI-Pepsodent.

PDGI, (2013). Menurut WHO, Karies Gigi di Indonesia Tinggi. (online). (http://www.beritasatu.com/lifestyle/html diakses 3 Maret 2014).

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Fundamental nursing : Concept, proses, and practice (6th ed.). St. Louis: Mosby Year Book.
Pratiwi, D. (2007). Gigi Sehat. Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara.
Rakhmat, J. (2006). Komunikasi Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung, Remaja Rosdakarya.

Rumini, E. (2006). Hubungan Motivasi Terhadap Praktek Perawatan Gigi dan Mulut. Skripsi Tidak Diterbitkan. Yogyakarta, Universitas Gajah Mada.

Santrock, J. W. (2008). Life Span Development (12th ed.). Newyork: McGraw Hill.

Silvia, A. (2005). Hubungan Frekuensi Menyikat Gigi dengan Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Palaran Kotamadya Samarinda Provinsi Kalimantan Timur. Samarinda, Majalah Kedokteran Gigi Vol. 28 No. 2 Hal. 88-90.

Sintawati, I. (2009). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebersihan Gigi dan Mulut Masyarakat DKI Jakarta Tahun 2009. Jurnal Ekologi dan Kesehatan Volume 8 Nomer 1. http://repository.ui.ac.id/ dokumen/lihat/5668.pdf. Diakses tanggal 20 Februari 2014
Siswomihardjo, K.W.  (2003). Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu. Dalam Filsafat Ilmu. Cetakan ketiga. Yogyakarta, Penerbit Liberty.
Sobur, A. (2003). Psikologi Umum. Bandung, Pustaka Setia.
Soemantri, S. (2004). Perkembangan Fisik dan Intelektual Anak Usia Sekolah Dasar. Yogyakarta, Penerbit Liberty.
Soesanto, N. (2007). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta, Rineka Cipta.

Sopiyudin, D. (2005). Besar Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta, Arkans.

Sopiyudin, D. (2009). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta, Penerbit Salemba Medika.



Tampubolon, N. S. (2005). Dampak Karies Gigi dan Penyakit Periodontal Terhadap Kualitas Hidup. Skripsi Tidak Diterbitkan. Medan, Universitas Sumatera Utara.
           

Walgito, B. (2003). Psikologi Social Suatu Pengantar, Yogyakarta, Andi Yogyakarta.

Wardhani, K. (2014). Minimnya Informasi Media Mengenai Karies Gigi, (online) http://www.tribunnews.com/kesehatangigi. diakses 03 Juni 2014

Wardoyo, H. P. (2009). Kerangka Teoritis dan Pembangunan Hipotesis Theoritical Framework & Hypothesis Development. Jakarta, Gunadarma Press.

Wong, D. L. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (6th ed). Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Yusuf, L. (2009), Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung, Remaja Rosdakarya.






2 komentar:

  1. lengkap sekali artikel kesehatan giginya.ini bisa jadi referensi bagi kita semua yang menjaga kesehatan gigi.
    cara merawat gigi berlubang

    BalasHapus
  2. mantap sekali artikel kesehatan giginya, lengkap dan informatif.
    ciri ciri kanker serviks

    BalasHapus