A. Kesehatan
Gigi
Gigi
merupakan bagian tubuh yang berfungsi untuk mengunyah, berbicara,
mempertahankan bentuk muka, dan estetika. Gigi sehat adalah keadaan gigi
yang bersih tanpa adanya plak, karies, nyeri, dan penyakit lainya. Gigi dapat berfungsi dengan baik
apabila gigi tersebut dalam keadaan sehat, sebaliknya gigi yang tidak sehat
akan menimbulkan masalah (Hamada, 2008).
Kesehatan
gigi merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kesehatan tubuh secara keseluruhan.
Saat ini masalah kesehatan gigi masih
menjadi prioritas kedua terutama bagi masyarakat Indonesia. Padahal dari sakit
gigi yang tampaknya sepele, bisa menjadi pemicu timbulnya sejumlah penyakit berbahaya.
Dari beberapa studi dilaporkan adanya hubungan antara penyakit gigi dengan penyakit
jantung koroner, aterosklerosis,
pneumonia, diabetes dan kelahiran prematur.
Bahkan, penyakit gigi juga pernah dilaporkan bisa menyebabkan kematian.
Informasi statistik rumah sakit di Indonesia (2005) menunjukkan bahwa penyakit
gigi kronis seperti penyakit pulpa dan periodontal termasuk dalam urutan ke-24
dari 50 peringkat utama penyebab kematian di rumah sakit (PDGI, 2009).
B. Karakteristik
Gigi Anak Usia Sekolah
Secara
fisiologis, gigi sulung atau gigi susu akan tanggal pada usia sekitar 6-7
tahun, dimana pada umur tersebut anak-anak rerata sudah berada dikelas 1
sekolah dasar. Gigi susu yang tanggal tersebut akan digantikan gigi tetap
dengan urutan tumbuh, yaitu gigi seri bawah, gigi seri atas, gigi taring bawah,
gigi geraham kecil bawah, gigi geraham kecil atas, gigi geraham besar bawah,
gigi geraham besar atas, dan terakhir gigi taring atas. Sekitar usia 14-15
tahun, semua gigi susu telah tanggal dan semua gigi yang ada dalam mulut adalah
gigi tetap. Satu hal yang perlu diketahui orang tua bahwa tumbuhnya gigi
geraham besar bawah dan atas pertama itu tidak menggantikan gigi susu manapun.
Gigi geraham ini tumbuh secara diam-diam. Karena karakteristik tumbuhnya yang
diam-diam, biasanya gigi geraham ini rawan sekali terjadi kerusakan dan sering
kali harus dikorbankan dengan cara dicabut (Hamada, 2008).
Berhubungan
dengan proses fisiologis bergantinya gigi susu menjadi gigi tetap yang
berlangsung saat anak usia sekolah, maka
diperlukan perhatian yang lebih dari orang tua dalam perawatan kesehatan gigi
dan mulut anaknya. Orang tua perlu mengajarkan cara gosok gigi yang benar, memfasilitasi
perawatan gigi pada anak, memberikan makanan yang tepat dan bergizi, serta
membawa anaknya melakukan pemeriksaan gigi ke dokter gigi minimal 6 bulan
sekali. Apabila anak sudah dibiasakan melakukan perawatan gigi dan mulut yang
baik dan benar sejak usia sekolah, maka diharapkan dapat terbentuk pola
perilaku perawatan kesehatan gigi dan mulut yang baik dalam kehidupan anak (Suryawati, 2010).
C. Faktor yang Mempengaruhi
Kesehatan Gigi
Kesehatan gigi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Gizi
makanan
Perlu kita ketahui bahwa benih gigi sudah terbentuk waktu
janin (embrio) berusia ½ bulan dalam kandungan. Makanan-makanan ini sudah
tercakup dalam empat sehat lima sempurna (Palupi,
2005).
2.
Pengaruh
selama pembentukan gigi
Zat kapur merupakan bahan utama dalam pembentukan enamel,
di samping vitamin C, D dan lain-lain (Palupi,
2005).
3. Bila gigi sudah tumbuh
Makanan yang empuk dan lunak tidak memerlukan pengunyahan
yang sulit. Sering tidaknya kita makan juga mempengaruhi. Pengaruh asam dari
zat hidrat arang dalam mulut terjadi selama 40 menit pertama sesudah makan.
Kalau kita makan 3 kali sehari maka pengaruh asam hanya terjadi selama 3 x 30
menit = 1,5 jam/hari (Asmawati, 2007).
4. Jenis
makanan
Makanan yang mudah lengket dan menempel digigit seperti
permen dan coklat, makanan ini sangat disukai oleh anak anak. dan tanpa
disadari dapat mengakibatkan gangguan. Makanan tadi mudah tertinggal dan
melekat pada gigi, sehingga bila terlalu sering dan lama, maka berakibat tidak
baik. Makanan yang manis dan lengket tersebut akan bereaksi di mulut dan asam
yang merusak email gigi (Asmawati,
2007).
5. Kebersihan
gigi
Kebiasaan dan perilaku membersihkan gigi sangat
mempengaruhi kebersihan gigi, dan kebersihan gigi sangat mempengaruhi kesehatan
gigi dan mulut secara umum (Asmawati, 2007).
6. Kepekatan
air ludah
Pada orang-orang yang mempunyai air ludah sangat pekat
dan sedikit akan lebih mudah giginya menjadi berlubang dibandingkan dengan air
ludah yang encer dan banyak, sebab pada orang yang berair ludah pekat dan
sedikit maka sisa makanan akan mudah menempel pada permukaan gigi (Asmawati,
2007).
D. Ciri-Ciri
Gigi yang Sehat
Secara umum,
gigi dan mulut dikatakan sehat apabila gigi dapat berfungsi dengan baik, bersih, tanpa adanya keluhan sakit atau
nyeri, serta tidak menimbulkan bau kurang sedap yang keluar dari mulut. Menurut
WHO, gigi dan mulut dikatakan sehat apabila gigi berwarna putih kekuningan
dengan mahkota gigi utuh, leher gigi tidak kelihatan, kondisi gusi dan mukosa
mulut sehat, tidak ada keluhan sakit dan bau mulut (PDGI, 2009).
E. Konsep Dasar
Karies Gigi
1. Pengertian karies gigi
Karies
berasal dari bahasa Latin yaitu caries yang artinya kebusukan. Karies
gigi adalah suatu proses kronis regresif yang
dimulai dengan larutnya mineral email sebagai akibat terganggunya keseimbangan
antara email dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari
substrat sehingga timbul destruksi komponen-komponen organik yang
akhirnya terjadi kavitas. Prosesnya terjadi terus berjalan ke bagian yang lebih
dalam dari gigi sehingga membentuk lubang yang tidak dapat diperbaiki kembali
oleh tubuh melalui proses penyembuhan, pada proses ini terjadi demineralisasi
yang disebabkan oleh adanya interaksi kuman, karbohidrat yang sesuai pada
permukaan gigi dan waktu. Perkembangan karies dapat berbeda pada setiap orang. Apabila
perkembangannya lambat, mungkin membutuhkan waktu yang lama sampai karies menjadi kavitas besar. Akan tetapi
perkembangan yang cepat hanya membutuhkan waktu beberapa bulan saja
(Natamiharja, 2008).
2.
Tanda
dan gejala karies gigi (Manson, 2005)
a.
Terdapat
tanda-tanda keretakan email atau kavitas gigi.
b.
Dentin
di dalam kavitas lebih lunak dari pada dentin di sekelilingnya
c.
Terdapat
warna yang berbeda dengan email sekelilingnya.
d.
Pada
karies yang berkembang cepat biasanya berwarna agak terang, sedangkan karies
yang berkembang lambat biasanya berwarna agak gelap.
e.
Pit (lekukan pada email gigi) dan fisur (bentuk lekukan email gigi pada gigi molar dan pre molar)
kadang-kadang berwarna tua bukan karena karies gigi, tetapi karena noda akibat
beberapa makanan.
3.
Etiologi
karies gigi
Ada
yang membedakan faktor etiologi atau penyebab karies atas faktor penyebab primer
yang langsung mempengaruhi biofilm
(lapisan tipis normal pada permukaan gigi yang berasal dari saliva) dan faktor
modifikasi yang tidak langsung mempengaruhi biofilm.
Karies terjadi bukan disebabkan karena satu kejadian saja seperti penyakit
menular lainnya tetapi disebabkan serangkaian proses yang terjadi selama
beberapa kurun waktu (Manson, 2005).
Karies
merupakan penyakit multifaktorial yaitu adanya beberapa faktor yang
menjadi penyebab terbentuknya karies. Ada 4 (empat) faktor utama yang memegang
peranan yaitu faktor host atau tuan rumah, agen atau mikroorganisme, substrat atau
diet dan faktor waktu. Untuk terjadinya karies, maka kondisi setiap faktor
tersebut harus saling mendukung yaitu tuan rumah yang rentan, mikroorganisme
yang kariogenik, substrat yang sesuai
dan waktu yang lama (Angela, 2005).
a.
Faktor
host
Ada beberapa hal yang
dihubungkan dengan gigi sebagai tuan rumah terhadap karies gigi (ukuran dan
bentuk gigi), struktur namel (email), faktor kimia dan kristalografis, dan saliva.
Daerah yang mudah diserang karies adalah pit
dan fisure pada permukaan oklusal dan premolar. Permukaan gigi yang kasar juga dapat menyebabkan plak
yang mudah melekat dan membantu perkembangan karies gigi. Kepadatan kristal
enamel sangat menentukan kelarutan enamel. Semakin banyak enamel mengandung
mineral maka kristal enamel semakin padat dan enamel akan semakin resisten
(Budiharjo, 2005).
Gigi susu lebih mudah
terserang karies dari pada gigi tetap, hal ini dikarenakan gigi susu lebih
banyak mengandung bahan organik dan air dari pada mineral, dan secara kristalografis mineral dari gigi tetap
lebih padat bila dibandingkan dengan gigi susu. Alasan mengapa susunan kristal
dan mineralisasi gigi susu kurang adalah pembentukan maupun mineralisasi gigi
susu terjadi dalam kurun waktu 1 tahun sedangkan pembentukan dan mineralisasi gigi
tetap 7-8 tahun (Budiharjo, 2005).
Saliva mampu meremineralisasikan karies yang
masih dini karena banyak sekali mengandung ion kalsium dan fosfat. Kemampuan
saliva dalam melakukan remineralisasi meningkat jika ada ion fluor. Selain
mempengaruhi komposisi mikroorganisme di dalam plak, saliva juga mempengaruhi pH (Budiharjo, 2005).
b.
Faktor agent
Plak gigi memegang peranan
penting dalam menyebabkan terjadinya karies. Plak adalah suatu lapisan lunak
yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme yang berkembang biak di atas suatu matriks yang terbentuk dan melekat erat
pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan (Angela, 2005).
Komposisi mikroorganisme
dalam plak berbeda-beda, pada awal pembentukan plak, kokus gram positif
merupakan jenis yang paling banyak dijumpai seperti Streptococcus mutans, Streptococcus
sanguis, Streptococcus mitis, Streptococcus salivarus, serta beberapa
strain lainnya, selain itu dijumpai juga Lactobacillus dan beberapa
beberapa spesies Actinomyces (Budiharjo, 2005).
Plak bakteri ini dapat
setebal beratus-ratus bakteri sehingga tampak sebagai lapisan putih. Secara histometris plak terdiri dari 70%
sel-sel bakteri dan 30% materi interseluler yang pada pokoknya berasal dari
bakteri (Asmawati, 2007).
c. Pengaruh substrat
atau diet
Faktor subtrat atau diet
dapat mempengaruhi pembentukan plak karena membantu perkembangbiakan dan
kolonisasi mikroorganisme yang ada pada permukaan enamel. Selain itu, dapat
mempengaruhi metabolisme bakteri dalam plak dengan menyediakan bahan-bahan yang
diperlukan untuk memproduksi asam serta bahan lain yang aktif yang menyababkan
timbulnya karies (Asmawati, 2007).
Dibutuhkan waktu minimum
tertentu bagi plak dan karbohidrat yang menempel pada gigi untuk membentuk asam
dan mampu mengakibatkan demineralisasi email.
Karbohidrat ini menyediakan substrat untuk pembuatan asam bagi bakteri dan
sintesa polisakarida ekstra sel
(Budiharjo, 2005).
Orang yang banyak
mengkonsumsi karbohidrat terutama sukrosa cenderung mengalami kerusakan gigi,
sebaliknya pada orang dengan diet banyak mengandung lemak dan protein hanya sedikit
atau sama sekali tidak memliki karies gigi. Hal ini dikarenakan adanya
pembentukan ekstraseluler matriks
(dekstran) yang dihasilkan karbohidrat dari pemecahan sukrosa menjadi glukosa
dan fruktosa. Glukosa ini dengan bantuan Streptococcus mutans membentuk
dekstran yang merupakan matriks yang melekatkan bakteri pada enamel gigi. Oleh
karena itu sukrosa merupakan gula yang paling kariogenik (makanan yang dapat memicu timbulnya kerusakan/karies gigi
atau makanan yang kaya akan gula). 20 Sukrosa merupakan gula yang paling banyak
dikonsumsi, maka sukrosa merupakan penyebab karies yang utama (Angela, 2005).
Makanan dan minuman yang
mengandung gula akan menurunkan pH plak dengan cepat sampai pada level yang
dapat menyebabkan demineralisasi
email. Plak akan tetap bersifat asam selama beberapa waktu. Untuk kembali ke pH
normal sekitar 7, dibutuhkan waktu 30-60 menit. Oleh karena itu, konsumsi gula
yang sering dan berulang-ulang akan tetap menahan pH plak di bawah normal dan
menyebabkan demineralisasi email
(Budiharjo, 2005).
d.
Faktor waktu
Secara
umum, karies dianggap sebagai penyakit kronis pada manusia yang berkembang dalam
waktu beberapa bulan atau tahun. Adanya kemampuan saliva untuk mendepositkan kembali
mineral selama berlangsungnya proses karies, menandakan bahwa proses karies
tersebut terdiri atas perusakan dan perbaikan yang silih berganti. Adanya
saliva di dalam lingkungan gigi mengakibatkan karies tidak menghancurkan gigi dalam
hitungan hari atau minggu, melainkan dalam bulan atau tahun. Lamanya waktu yang
dibutuhkan karies untuk berkembang menjadi suatu kavitas cukup bervariasi,
diperkirakan 6-48 bulan. Dengan demikian sebenarnya terdapat kesempatan yang
baik untuk menghentikan penyakit ini (Manson,
2005).
e. Kebiasaan makan
Pada zaman modern ini,
banyak kita jumpai jenis-jenis makanan yang bersifat manis, lunak dan mudah
melekat misalnya permen, coklat, bolu, biscuit dan lain-lain. Di mana biasanya makanan
ini sangat disukai oleh anak-anak. Makanan ini karena sifatnya yang lunak maka
tidak perlu pengunyahan sehingga gampang melekat pada gigi dan bila tidak
segera dibersihkan maka akan terjadi proses kimia bersama dengan bakteri dan air
ludah yang dapat merusak email gigi (Hamada,
2008).
Kebiasaan makan
dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik
dan intrinsik. Faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal
dari luar manusia seperti lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya
serta lingkungan ekonomi. Faktor intrinsik
merupakan faktor yang berasal dari dalam diri manusia, seperti: asosiasi
emosional, keadaan jasmani dan kejiwaan yang sedang sakit serta penilaian yang
lebih terhadap mutu makanan juga merupakan faktor intrinsik (Hamada, 2008).
Penelitian Nizel (1981)
pada anak umur 6 tahun di Inggris menunjukkan bahwa makanan yang berbentuk
lunak dan lengket dapat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit karies gigi. Zat
gizi seperti vitamin dan mineral, protein hewani dan nabati, serta karbohidrat
yang terkandung dalam makanan sehari-hari dapat mempengaruhi terjadinya
penyakit karies gigi. Hal ini yang perlu mendapat perhatian tidak hanya nutrisi
saja, tetapi cara mengonsumsi jenis makanan dan waktu pemberian, karena semua ini
akan mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Sukrosa adalah salah satu
jenis karbohidrat yang terkandung dalam makanan lainnya yang merupakan substrat
untuk pertumbuhan bakteri yang pada akhirnya akan meningkatkan proses terjadinya
karies gigi (Karisma, 2008).
4.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi karies gigi
a. Umur.
Hasil studi menunjukkan
bahwa lesi karies dimulai lebih sering pada umur yang spesifik. Hal ini berlaku
terutama sekali pada umur anak-anak namun juga pada orang dewasa (Cahyati,
2008).
b.
Jenis kelamin
Dari pengamatan yang
dilakukan Milhann-Turkeheim pada gigi M1, didapat hasil bahwa persentase karies
gigi pada wanita adalah lebih tinggi dibanding pria. Selama masa kanak-kanak
dan remaja, wanita menunjukkan nilai DMF-T yang lebih tinggi daripada pria.
Walaupun demikian, umumnya oral higiene
wanita lebih baik sehingga komponen gigi yang hilang (M=Missing) lebih sedikit
(Cahyati, 2008).
c.
Sosial ekonomi
Karies dijumpai lebih
rendah pada kelompok sosial ekonomi rendah dan sebaliknya. Hal ini dikaitkan
dengan lebih besarnya minat hidup sehat pada kelompok sosial ekonomi tinggi. Menurut
Tirthankar (2002), yang dikutif oleh Darwita (2011) menyatakan bahwa ada dua
faktor sosial ekonomi yaitu pekerjaan dan pendidikan. Pendidikan adalah faktor
kedua terbesar yang mempengaruhi status kesehatan. Seseorang yang mempunyai
tingkat pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang
kesehatan sehingga akan mempengaruhi perilakunya untuk hidup sehat (Darwita,
2011).
d.
Penggunaan fluor
Penggunaan fluor sangat
efektif untuk menurunkan prevalensi karies,
walaupun penggunaan fluor tidaklah merupakan satu-satunya cara pencegahan
(Darwita, 2011).
e.
Pola makan
Setiap kali seseorang
mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung karbohidrat, maka beberapa
bakteri penyebab karies di rongga mulut akan mulai memproduksi asam sehingga pH
saliva menurun dan terjadi demineralisasi
yang berlangsung selama 20-30 menit setelah makan. Di antara periode makan,
saliva akan bekerja menetralisir asam dan membantu proses remineralisasi. Namun, apabila makanan berkarbonat terlalu sering
dikonsumsi, maka email gigi tidak akan mempunyai kesempatan untuk melakukan remineralisasi dengan sempurna sehingga
terjadi karies (Hamada, 2008).
f.
Kebersihan mulut
Sebagaimana diketahui
bahwa salah satu komponen dalam pembentukan karies adalah plak. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan menyikat giginya dengan teratur setiap
habis makan, waktu bangun tidur, dan malam pada waktu sebelum tidur, ternyata dapat
meningkatkan kebersihan mulut dan mencegah karies gigi (Hamada, 2008).
g.
Merokok
Nicotine yang dihasilkan oleh tembakau dalam
rokok dapat menekan aliran saliva, yang menyebabkan aktivitas karies meningkat.
Dalam hal ini karies ditemukan lebih tinggi pada
perokok dibandingkan dengan bukan
perokok (Pratiwi, 2007).
5. Klasifikasi karies gigi
1) Karies superfisialis,
yaitu karies yang baru mengenai enamel
dan belum sampai pada dentin.
2) Karies media,
karies yang sudah sampai pada dentin
tapi belum melebihi setengah dentin.
3) Karies profunda,
yakni karies yang sudah melebihi setengah dentin
bahkan terkadang sudah sampai pada pulpa (Cahyati,
2008).
6. Pencegahan karies gigi
1) Pencegahan
primordial, yaitu tindakan
ini ditujukan pada kesempurnaan struktur enamel
dan dentin atau gigi pada umumnya. Seperti kita ketahui yang mempengaruhi
pembentukan dan pertumbuhan gigi kecuali protein untuk pembentukan matriks gigi, vitamin (vitamin A,
vitamin C, vitamin D) dan mineral (Calcium,
Phosfor, Fluor, dan Magnesium) juga dibutuhkan.
Pada ibu-ibu yang sedang mengandung sebaiknya diberikan kalsium yang diberikan
dalam bentuk tablet, dan air minum yang mengandung fluor karena hal ini akan
berpengaruh terhadap pembentukan enamel
dan dentin bayi yang akan dilahirkan (Hamada, 2008).
2) Pencegahan primer,
merupakan upaya
meningkatkan kesehatan (health promotion), meliputi upaya promosi
kesehatan meliputi pengajaran tentang cara menyingkirkan plak yang efektif atau
cara menyikat gigi dengan pasta gigi yang mengandung fluor dan menggunakan
benang gigi (dental floss). Memberikan perlindungan khusus (spesific
protection), meliputi upaya perlindungan khusus yaitu untuk melindungi host
dari serangan penyakit dengan membangun penghalang untuk melawan
mikroorganisme. Aplikasi pit dan fisur silen merupakan upaya perlindungan khusus untuk mencegah karies (Hamada, 2008).
3) Pencegahan sekunder,
yaitu untuk menghambat
atau mencegah penyakit agar tidak berkembang atau kambuh lagi. Kegiatannya
ditujukan pada diagnosa dini dan pengobatan yang tepat. Sebagai contoh
melakukan penambalan pada gigi dengan lesi karies yang kecil dapat mencegah
kehilangan struktur gigi yang luas. Diantara tindakan yang dapat dilakukan
seperti diagnosis dini, penambalan, dan pencegahan (Hamada, 2008).
4) Pencegahan tersier, adalah pelayanan yang ditujukan terhadap akhir dari
patogenesis penyakit yang dilakukan untuk mencegah kehilangan fungsi, yang
meliputi pembatasan cacat (Disability Limitation), merupakan tindakan
pengobatan yang parah, misalnya pulp capping, pengobatan urat syaraf
(perawatan saluran akar), pencabutan gigi dan sebagainya. Rehabilitasi (Rehabilitation),
merupakan upaya pemulihan atau pengembalian fungsi dan bentuk sesuai dengan
aslinya, misalnya pembuatan gigi tiruan (protesa) (Hamada, 2008).
7. Dampak karies gigi
Karies gigi
yang diderita seseorang akan menimbulkan gejala dan akibat yang berbeda sesuai
dengan klasifikasinya, namun secara umum, jika karies gigi maka akan
menimbulkan seperti keterbatasan fungsi gigi (sulit mengunyah, makanan
tersangkut, nafas berbau, pencernaan terganggu), disabilitas fisik (diet tidak
efektif, terpaksa menghindari makanan tertentu, tidak dapat menggosok gigi
dengan baik), rasa sakit (sakit kepala, infeksi dan radang), ketidaknyamanan
psikis (merasa rendah diri dan sangat khawatir), dan disabilitas psikis seperti susah tidur dan sulit konsentrasi
(Tampubolon, 2006).
8. Perawatan kesehatan gigi dan mulut
Sebaiknya merawat gigi sejak dini. Jangan menunggu gigi
bermasalah baru kemudian mengunjungi dokter gigi. Gigi yang dirawat sejak dini
akan lebih sehat dan bebas dari masalah-masalah dan gangguan kesehatan gigi
saat kita dewasa (Anastasia, 2005).
Perawatan
gigi dan mulut seharusnya dimulai sejak gigi pertama anak tumbuh sekitar 6
bulan. Bersihkanlah mulut bayi ketika selesai menyusu, terutama bila bayi minum
susu formula. Bersihkanlah dengan menggunakan jari telunjuk ibu yang dibungkus
kasa yang telah dicelupkan ke dalam air hangat, atau menggunakan sikat khusus
bayi. Bersihkan juga lidah dan gusi bayi. Sisa-sisa susu yang mengumpul pada
lidah dan gusi bila tidak dibersihkan akan menjadi tempat bakteri dan jamur
berkembang biak. Apabila gigi bayi sudah biasa dibersihkan, maka pengenalan
sikat gigi biasa pada anak menjadi tidak terlalu sulit. ketika masih bayi tidak
perlu menggunakan pasta gigi (Anastasia, 2005).
Pasta gigi
yang mengandung fluor baru boleh diberikan kepada anak-anak setelah mareka bisa
berkumur dan membuang air kumurannya, kira-kira ketika sudah berumur 3,5 sampai
4 tahun. Namun dalam proses menyikat gigi harus tetap dalam pengawasan orang
tua. Beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam merawat kebersihan dan
kesehatan gigi dan mulut (Anastasia, 2005).
a. Menggosok gigi (brushing)
Sebaiknya menggosok gigi 2 kali sehari, yaitu sesudah sarapan dan sebelum
tidur malam hari. Ketika
tidur, mulut tertutup dan menyebabkan air liur tidak bersirkulasi, bakteri akan
berkembang biak dua kali lipat lebih banyak. Bakteri yang semakin banyak akan
merusak gigi dan gusi. Oleh karena itu, sikat gigi sebelum tidur sangat penting
untuk menghindari terjadinya gangguan gigi dan gusi yang lebih buruk (Angela,
2005).
Diluar jadual rutin 2 kali sehari, sebaiknya segera
menyikat gigi setelah mengonsumsi makanan yang manis dan lengket. Sisa makanan
manis yang tidak segera dibersihkan menjadi penyebab utama terjadinya gigi
berlubang. Begitu pula makanan yang lengket, makanan ini harus segera
dibersihkan agar tidak tertimbun dan semakin sulit dibersihkan nantinya
(Angela, 2005).
beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam
menggosok gigi adalah :
1) Pilihlah sikat gigi yang mempunyai
bulu sikat yang lembut. Banyak orang yang beranggapan bahwa semakin keras
menyikat gigi akan semakin bersih hasilnya. Anggapan ini salah karena menyikat
gigi dengan keras akan menyebabkan terkikisnya email (lapisan pelindung) gigi (Anastasia, 2005).
2) Terapkanlah cara menyikat gigi yang
baik dan benar. Sikatlah gigi dengan arah ke atas lalu ke bawah atau dari arah
gusi ke arah ujung gigi (Angela, 2005).
3) Ganti sikat gigi Anda tiga bulan
sekali atau bila bulu sikat sudah mekar. Penempatan sikat gigi pun harus
diperhatikan. Letakkanlah sikat gigi di dalam kamar mandi dengan wadah tertutup
untuk menghindari kontaminasi kuman dan bakteri (Hamada, 2008).
b. Pemeriksaan ke dokter gigi
Pemeriksaan ke dokter gigi dianjurkan 6 bulan sekali, terutama pada anak usia
sekolah, karena pada masa ini terjadi pergantian dari gigi susu ke gigi
permanen. pemeriksaan rutin ke dokter gigi sangat penting, untuk mencegah
terjadinya karies gigi dan gangguan kesehatan gigi lainnya (Hamada, 2008)..
c. Mengatur makanan
Untuk melindungi gigi agar tidak rusak, sebaiknya beberapa makanan berikut
ini harus dihindari :
1) Makanan yang mengandung cuka, karena bersifat korosif. Bila ini bersatu dengan saliva yang juga mempunyai sifat asam
maka akan mengikis gigi. Oleh sebab itu, segeralah minum air setelah makan
makanan asam atau mengandung cuka (Asmawati, 2007).
2) Hindari terlalu sering mengkonsumsi makanan yang
mengandung gula tinggi. Sisa gula akan menempel di gigi. Setelah berakumulasi dengan saliva dan zat lainnya dapat menimbulkan plak. Jika dibiarkan,
lama-lama menyebabkan karies. Hal yang sama pada makanan yang mengandung tepung
dan coklat, karena sifatnya yang lengket menjadi terakumulasi dan tahap demi tahap menyebabkan kerusakan gigi
(Hamada, 2008).
Minum air putih sangatlah penting, karena mampu menetralkan keadaan asam di
dalam mulut akibat fermentasi makanan
serta dapat membantu gigi menjadi bersih. Minum air teh dapat mencegah karies
gigi, karena teh mengandung flour dan
zat polif enol (Hamada, 2008).
Konsumsi makanan yang mengandung tinggi kalsium, fospor, vitamin C, vitamin
D seperti susu, keju, yogurt, telur, sayur, buah dan lain-lain. Karena dapat
membantu membentuk serta menguatkan tulang dan gigi (Hamada, 2008).
d. Penggunaan Flouride
Salah satu substansi
yang sering ditambahkan pada pasta gigi adalah senyawa fluoride
yang berguna untuk membuat gigi lebih resisten terhadap kekeroposan atau
mencegah gigi berlubang dan juga untuk mendukung remineralisasi. Dari hasil
kajian terhadap 74 penelitian yang melibatkan lebih dari 42.000 anak di bawah
usia 16 tahun dinyatakan bahwa anak-anak yang menggosok gigi menggunakan pasta
gigi berfluoride kemungkinan gigi berlubang berkurang 24% dibanding dengan yang
menggunakan pasta gigi tidak berfluoride (Hamada,
2008).
Senyawa fluoride adalah suatu garam fluoride yang banyak
sekali terdapat di dalam alam dapat berupa sodium fluoride, calcium fluoride, ammonium fluoride,
aluminium fluoride, ammonium fluorosilikat, ammonium fluorofosfat, hexadesil
ammonium fluoride, magnesium fluoride dan garam-garam lainnya (Hamada, 2008).
Selain kegunaan yang telah dijelaskan ternyata penggunaan
dan pemasukan senyawa fluoride yang berlebihan ke dalam tubuh juga mempunyai
resiko buruk, yaitu diantaranya fluorisis
gigi. Fluorisis gigi terjadi karena
seorang anak menerima terlalu banyak senyawa fluor selama masa pembentukan gigi
yaitu pada periode waktu 3 bulan sampai 8 tahun, sedangkan untuk anak berusia
di atas 8 tahun sudah tidak ada resiko seperti ini (Hamada,2008).
Indonesia telah menetapkan bahwa jumlah senyawa fluoride
yang boleh terkandung dalam pasta gigi tidak boleh lebih dari 0,15% atau 1500
ppm dihitung dari kadar total F (fluor). Hal ini sejalan dengan yang telah
ditetapkan oleh negara-negara di ASEAN, kecuali Thailand. Thailand menetapkan
kadar fluoride dalam pasta gigi tidak boleh lebih dari 0,11% atau 1100 ppm,
disebabkan karena kandungan fluoride pada air minum di Thailand sudah cukup
tinggi. Sedangkan untuk pasta gigi anak-anak kandungan fluoridenya harus kurang
dari 0,1% atau 1000 ppm (Hamada,2008).
e. Penggunaan benang gigi (flossing)
Flossing (benang gigi) adalah bagian penting
dari perawatan gigi sehari-hari yang dilakukan untuk menghilangkan plak
dan sisa-sisa makanan dari sela gigi, bracket
dan kawat gigi. Flossing
menjaga gigi dan gusi tetap bersih dan sehat (Hamada,2008).
Flossing adalah tindakan pembersihan plak dan sisa makanan yang
menempel pada gigi dengan melalui alat bantu berupa benang gigi maupun sikat interdental. Flossing sangat berguna
bagi kesehatan dan kelangsungan vitalitas gigi. Dengan melakukan flossing
minimal 2 kali sehari, gigi kita terjaga kebersihannya pada setiap
permukaannya. Flossing membantu mengurangi angka kejadian karies gigi secara
signifikan, terutama bagi kasus karies interdental (Hamada,2008).
Macam-macam dental floss
diantaranya berupa benang gigi dan sikat interdental,
yang masing-masing penggunaannya berbeda berdasarkan besarnya celah antar gigi.
Benang gigi dipergunakan bagi keadaan dimana celah gigi sangat rapat sehingga
alat bantu lain misalnya tusuk gigi tidak dapat menjangkaunya.
Lain dengan benang gigi, sikat interdental digunakan pada keadaan dimana celah antar gigi longgar atau sangat longgar (Hamada,2008).
Lain dengan benang gigi, sikat interdental digunakan pada keadaan dimana celah antar gigi longgar atau sangat longgar (Hamada,2008).
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku perawatan
gigi dan mulut
a. Faktor internal
1) Usia
Usia erat
hubungannya dengan tingkat kedewasaan teknik maupun psikologis. Usia berbanding
lurus dengan pengetahuan yang dimiliki. Seiring dengan bertambahnya usia,
diharapkan perilaku perawatan gigi dan mulut seseorang semakin baik (Dewanti,
2012).
2) Jenis kelamin
Dari
kebiasaan sehari-hari menunjukkan bahwa perempuan lebih rajin dan teliti
membersihkan gigi dan mulut dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini mungkin
desebabkan karena kodrat dasar seorang perempuan yang memiliki sifat feminim
dan lebih memperhatikan aspek estetika dibandingkan dengan laki-laki (Sintawati,
2009).
3) Pengalaman
Pengalaman
merupakan pelajaran yang paling berharga dalam kehidupan seseorang. Kebiasaan
baik dalam hal menjaga kebersihan gigi dan mulut sejak usia dini diyakini mampu
membentuk perilaku baik dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut setelah dewasa
(Hamada, 2008).
4) Motivasi
Motivasi
adalah proses yang menjelaskan intensitas,
arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen
utama dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan. Berkenaan
dengan kebersihan gigi dan mulut, Mutlak mengupayakan pemahaman-pengertian,
serta memunculkan kesadaran dan motivasi kuat dari diri sendiri tentang
pentingnya kesehatan gigi-geligi dan rongga mulut bagi diri sendiri sebagai
bagian tidak terpisahkan dari kesehatan tubuh (Rumini, 2006).
b. Faktor Eksternal
1) Peran orang tua
Agar
anak telaten membiasakan menjaga kesehatan gigi dan mulutnya, peran orangtua
merupakan ujung tombak dari keberhasilan upaya ini. Orangtua jangan lelah untuk
terus mengupayakan perawatan sejak dini pada anak. Sebagain orangtua menganggap
perawatan gigi dan mulut tidak sepenting memenuhi kebutuhan lain dari anaknya.
Padahal, kesehatan gigi anak seharusnya perlu dijaga sejak pertama kali tumbuh.
Hal itu karena, bila anak-anak sudah bisa berperilaku sehat sejak kecil,
kebiasaan itu akan berlanjut sampai ia dewasa (Nawawi, 2013).
2) Tingkat pengetahuan
Pengetahuan
merupakan dasar terbentuknya perilaku. Seseorang dikatakan kurang pengetahuan,
apabila dia tidak mampu mengenal, menjelaskan, dan menganalisis suatu keadaan.
Orang yang berpengetahuan baik tentang kesehatan gigi dan mulut, seharusnya
memiliki perhatian yang lebih dalam
menjaga kesehatan gigi dan mulut (Dewanti, 2008).
3) Fasiltas
Fasilitas sebagai
dapat sebagai sarana informasi atau peralatan tertentu yang dapat mempengaruhi
pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2010). Dengan adanya fasilitas internet,
buku, dan lain-lain, memungkinkan seseorang mendapatkan informasi tentang
kesehatan gigi dan mulut serta cara perawatannya, sehingga akan mempengaruhi
pereilaku seseorang dalam perawatan gigi dan mulut. Selain itu, keberadaan
fasilitas atau peralatan juga sangat mempengaruhi perilaku menjaga kesehatan
gigi dan mulut (Anastasia, 2005).
4) Penghasilan
Penghasilan
secara langsung mempengaruhi kemampuan menyediakan fasilitas perawatan gigi dan
mulut, termasuk mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan pemeriksaan
gigi secara rutin (Dewanti, 2008).
5) Sosial budaya
Budaya
adalah suatu pola hidup
menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya
turut menentukan perilaku. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi
banyak kegiatan sosial manusia. Budaya membekali
anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak. Budaya juga
merupakan kebiasaan yang sudah menjadi perilaku permanen (Rakhmat, 2006).
Kebiasaan dalam sebuah keluarga, seperti gosok gigi setelah makan dan sebelum
tidur merupakan contoh perilaku yang bisa dikatakan sudah menjadi budaya dalam
keluarga (Rakhmat, 2006).
F. Karakteristik
Anak Usia Sekolah Dasar
Anak usia
sekolah dasar adalah anak yang berada pada usia-usia sekolah dasar. Masa usia
sekolah sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia 6 hingga
kira-kira usia 12 tahun. Karakteristik utama usia sekolah adalah mereka
menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam banyak segi dan bidang,
diantaranya perbedaan dalam intelegensi, kemampuan dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan
fisik (Wong, 2009).
Masa usia sekolah adalah babak terakhir bagi periode perkembangan dimana
manusia masih digolongkan sebagai anak masa usia sekolah dikenal juga sebagai
masa tengah dan akhir dari masa kanak-kanak, pada masa inilah anak paling siap
untuk belajar. Mereka ingin menciptakan sesuatu, bahkan berusaha untuk dapat
membuat sesuatu sebaik-baiknya, ingin sempurna dalam segala hal. Pada masa ini
anak menjalani sebagian besar dari kehidupannya di sekolah yaitu di Sekolah
Dasar. pada masa ini dikatakan pula sebagai masa konsolidasi. Masa usia sekolah dasar sering pula disebut sebagai
masa intelektual atau masa keserasian sekolah. Pada masa keserasian sekolah ini
secara relatif anak-anak lebih mudah dididik dari pada sebelumnya dan
sesudahnya. Masa
ini dapat dirinci lagi menjadi 2 fase,
yaitu masa kelas-kelas rendah sekolah dasar kira-kira umur 6
atau 7 tahun sampai
umur 9 atau 10 tahun, dan
masa kela-kelas tinggi sekolah dasar kira-kira umur 9 tahun 10 tahun
sampai kira-kira umur 12 atau 13 tahun
(Somantri, 2004).
1.
Karakteristik anak pada masa kelas-kelas rendah sekolah dasar
Beberapa sifat khas anak pada masa ini antara
lain adalah adanya
korelasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi sekolah. Sikap tunduk
kepada peraturan-peraturan permainan yang tradisional. Ada
kecenderungan menuju diri sendiri.
Suka membandingkan
dirinya dengan anak lain ada kecenderungan meremehkan anak lain. Kalau tidak
dapat menyelesaikan sesuatu hal, maka soal itu dianggapnya tidak penting. Pada masa ini
anak menghendaki nilai raport yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang
pantas diberi nilai atau tidak
(Angela, 2005)
2.
Karakteristik anak pada masa
kelas-kelas tinggi sekolah dasar
Beberapa sifat khas anak-anak pada masa ini adalah berminat terhadap
kehidupan praktis sehari-hari yang konkret.
Sangat realistis, ingin tahu, ingin belajar. Menjelang
akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata pelajaran khusus. Sampai
kira-kira umur 2
tahun anak dapat membutuhkan seorang guru/orang-orang dewasa lainnya untuk
menyelesaikan tugasnya dan memenuhi keinginannya. Setelah kira-kira umur 2 tahun pada
umumnya anak menghadapi tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikannya
sendiri. Pada
masa ini anak memandang (nilai raport) sebagai ukuran yang tepat
(sebaik-baiknya) mengenai prestasi sekolah.
Gemar membentuk kelompok sebaya biasanya untuk dapat bermain bersama-sama. Mengembangkan
kata hati, moralitas suatu skala nilai-nilai (Soemantri, 2004).
3.
Perkembangan fisik/jasmani
Perkembangan
fisik mencakup aspek-aspek anatomis dan fisiologis. Perkembangan
anatomis ditujukan dengan adanya kuantitatif pada struktur tulang-berulang.
Indeks tinggi dan berat badan, proporsi tinggi kepala dengan tinggi garis
keajegan badan secara keseluruhan.
Tulang-berulang pada masa ini
berjumlah 27 yang masih rentur, berpori dan persambungannya longgar. Berat badan
tinggi badan pada masa kanak-kanak sekitar 12-15 kg dan 90-120 cm (Wong, 2009).
Perkembangan fisiologi ditandai dengan adanya perubahan-perubahan
secara kuantitatif, kualitatif dan fungsional dari sistem-sistem kerja hayati
seperti konstraksi otot, peredaran darah dan pernafasan, persyarafan, sekresi
kelenjar dan pencernaan.
Otot sebagai pengontrol motorik.
Persentase tingkat kesempurnaan perkembangan secara fungsional. Keaktifan dan
tingkat kematangannya sekresi tubuh
(wong, 2009)
4.
Perkembangan prilaku
psikomotorik
Wong (2009)
mengatakan bahwa prilaku psikomotorik memerlukan adanya koordinasi
fungsional antara neuronmuscular system (persyarafan dan otot) dan fungsi
psikis (kognitif, afektif, konatif).
Ada dua macam perilaku psikomotorik utama yang bersifat universal harus
dikuasai oleh setiap individu pada masa bayi atau awal masa kanak-kanaknya
ialah berjalan (walking) dan memegang
benda (prehensian). Kedua jenis
keterampilan psikomotorik ini merupakan basis bagi perkembangan keterampilan
yang lebih kompleks seperti yang kita kenal dengan sebutan bermain (playing) dan bekeja (working).
5.
Pertumbuhan selama
pertengahan masa kanak-kanak
Tingkat Pertumbuhan anak-anak sangat berbeda antara ras,
bangsa dan tingkat sosial ekonominya. Pertumbuhan juga sangat dipengaruhi oleh
lingkungan mereka. Anak-anak yang tumbuh paling tinggi biasanya dalam hidupnya
tidak mengalami kekurangan gizi atau infeksi penyakit yang merupakan masalah
utama dalam kehidupan
(Asmawati, 2007).
Kekurangan nutrisi dapat mengakibatkan pertumbuhan
yang lamban, karena nutrisi tersebut hanya untuk mempertahankan hidup dan
energi, sedangkan protein lebih untuk meningkatkan pertumbuhan. Apabila makanan
tidak dapat mendukung kedua proses tersebut sepenuhnya maka pertumbuhannya
menjadi tidak optimal.
Pemberian vaksinasi sangat baik bagi anak-anak usia pertengahan dari
pada yang rendah usianya. Terbukti dengan adanya imunisasi di sekolah
(wong, 2009).
6.
Beberapa aspek kesehatan dan
kebugaran masa kanak-kanak
a.
Obesity
Penyebab obesity yaitu karena banyak makan dan
kurang berolahraga (Wong,
2009).
b.
Kondisi medis pada masa kanak-kanak
Pada umumnya
anak-anak mendapat sakit akut dalam waktu singkat dengan berbagai usia medis,
biasanya terkena virus (flu), selain itu ada juga sakit ternggorokan, radang
tenggorokan, infeksi telinga dan gangguan emosional (Asmawati, 2007).
c.
Penglihatan
Pada anak usia
sekolah, penglihatannya lebih tajam dari pada waktu sebelumnya. Mereka
cenderung lebih matang dan dapat memfokuskan penglihatan lebih baik (Asmawati 2007).
d.
Kesehatan Gigi
Anak usia 6
tahun mengalami tanggal giginya yang pertama kali, selanjutnya diganti dengan
gigi yang tetap setiap tahun sebanyak empat gigi untuk tahun kelima berikutnya
gangguan pada gigi yang biasanya dialami anak usia ini yaitu kerusakan gigi dan
juga gigi tanggal (Hamada, 2008).
e.
Kebugaran Anak
Memelihara
kebugaran anak sangat penting hal ini bisa dilakukan dengan cara berenang,
senam, lari, berjalan kaki, bersepeda. Hal ini untuk menjaga kesehatan jantung dan paru-paru (Hamada, 2008).
7.
Perkembangan intelektual
(IQ) dan emosional (EQ)
a.
Perkembangan Intelektual
(IQ)
1)
Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget anak usia antara 5-7 tahun memasuki
tahap operasi konkret (concrete
operations) yaitu pada waktu anak dapat berikir secara logik mengenai
segala sesuatu. Pada umumnya mereka pada tahap ini sampai kira-kira 2 tahun (Yusuf, 2009).
2)
Berpikir Operasional
Melakukan berbagai bentuk operasional yaitu kemampuan
aktivitas mental sebagai kebalikan dari aktivitas jasmani. Pada tahap
operasionak konkret anak-anak sudah mulai bekerja denga angka-angka, mengetahui
konsep-konsep waktu dan ruang dan dapat membedakan kenyataan dengan hal-hal
yang bersifat fantasi. Anak-anak
usia sekolah lebih dapat berpikir secara logik dari pada waktu mereka masih
muda. Seorang
anak pada periode perkembangan ini telah mampu menggunakan simbol untuk
melakukan sesuatu (Yusuf,
2009).
Pada periode berpikir ini pula anak-anak mulai mampu
melakukan “Perpisahan mereka memperhitungkan berbagai aspek yang ada sebelum
mengambil suatu kesimpulan dan tidak lagi hanya terpukau kepada satu aspek saja
seperti pada pemikiran praoperasional. Mereka meningkatkan pengertian bahwa
adanya sudut pandangan orang lain memungkinkan mereka untuk berkomunikasi
secara efektif dan memungkinkan mereka untuk bersikap lebih luwes
dalam sikap moral mereka
(Yusuf, 2009).
3)
Konservasi
Konservasi adalah salah satu kemampuan yang penting
yang dapat mengembangkan berbagai opemasi pada tahap konkret. Dengan kata lain
konservasi adalah kemampuan untuk mengenal atau mengetahui bahwa dua bilangan
yang sama akan tetap sama dalam substansi berat atau volume selama tidak
ditambah atau dikurangi
(Umar, 2011).
Anak pada usia sekolah dasar sudah mampu melakukan
konservasi karena sudah memahami konsep bolak-balik (reversibility) konsep bahwa ia dapat mengembalikan benda
kebentuknya yang semula tanpa (ditambah atau dikurangi). Kemampuan
konservasi di mungkinkan untuk berkembang jika sistem syaraf sudah cukup matang
dan mendukung kemampuan.
Selain itu anak dapat melakukan konservasi adalah anak yang nilai
rapornya lebih tinggi, IQ nya tinggi kemampuan verbalnya baik, dan ibu yang
aktif jadi, disini tampaklah suatu peningkatan kualitatif cara berpikir anak (Umar, 2011).
4)
Seriasi
Seriasi juga adalah satu ciri perkembangan kognitif
anak usia sekolah, yaitu memahami suatu seri posisi, seriasi ini juga berlaku
untuk berbagai dimensi, yaitu dimensi tinggi, panjang atau ukuran, Artinya anak
usia SD mampu menyusun benda mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling
rendah (Yusuf, 2009).
5)
Klasifikasi dari obyek-obyek, yaitu kemampuan
untuk memilih sub kelompok
(Mirna, 2013).
6)
Konsep Angka
b.
Perkembangan Emosional (EQ)
Pada masa anak
sekolah dasar (school age), pada masa ini ia pada umumnya mulai dituntut untuk dapat mengerjakan atau
menyelesaikan sesuatu dengan baik bahkan sempurna. Kemampuan
melakukan hal-hal tersebut menumbuhkan kepercayaan atas kecakapannya
menyelesaikan sesuatu tugas. Kalau tidak pada akan tumbuh/menimbulkan perasaan
rendah diri (inferiority) yang akan
dibawanya pada taraf perkembangan selanjutnya (Yusuf, 2009).
Pada
masa ini anak usia SD mulai mengalami ketidak senangan berdiferensiasi di dalam
rasa malu cemas dan kecewa sedangkan kesenangan, berdiferensiasi ke dalam
harapan dan kasih orang.
Oleh karena itu, tidak heran kalau terdapat siswa-siswi yang membenci
atau menyenangi guru atau bidang studi tertentu, bergantung pada kemampuan guru
untuk menyelenggarakan conditioning
reinforcement aspek-aspek emosional tersebut. Gejala
“seperti takut, cemas, marah, sedih, iri cemburu, senang, kasih sayang, simpati
merupakan beberapa proses manifestasi dari keadaan emosional pada diri
seseorang (Yusuf, 2009).
Aspek
emosional dari suatu perilaku melibatkan 3 variable yaitu rangsangan yang
menimbulkan emosi (the stimulus variable), perubahan-perubahan
fisiologis variable yang terjadi bila mengalami emosi (the organismic variable),
dan pola sambutan ekspresi atas terjadinya pengalaman
emosional itu (Mirna,
2013)
1) Gangguan
emosional pada kanak-kanak
Ada beberapa gangguan emosional pada masa kanak-kanak
sehingga terkesan dan sebagai penyebab ketakutan kanak-kanak untuk melakukan
suatu kegiatan. Salah satu contohnya yaitu pada suasana yang gelap sehingga
membuat anak merasa takut melakukan sesuatu pada malam hari diluar rumah. Dan
biasanya untuk menanggulangi masalah ini ditanggulangi oleh psikiater (Yusuf, 2009).
2) Beberapa
tipe masalah emosional
Kebrutalan atau kebingungan anak akan nampak pada
perilakunya, misalnya: berkelahi, berbohong, mencuri dan merusak aturan yang
berlaku. Bentuk-bentuk tindakan tersebut merupakan ekspresi yang keluar dari
emosional yang terganggu
(Yusuf, 2009).
3) Gangguan
kecemasan
Gangguan kecemasan yang dialami anak-anak dapat berupa
gangguan keinginan terpisah dan ketakutan (phobia) sekolah, Gangguan keinginan
terpisah dari orang terdekat berakibat anak mengalami sakit kepala, sakit
perut, dan sebagainya
(Natamiharja, 2008).
4) Takut
sekolah
Ketakutan terhadap guru yang keras (galak) atau
mendapat tugas yang berat di sekolah merupakan salah satu ketakutan pada anak,
ketakutan anak tersebut adalah wajar. Hal ini disebabkan karena lingkungan yang
tidak kondusif
(Natamiharja, 2008).
5) Kematangan
sekolah
Kematangan Sekolah ini ditandai apabila anak telah
mencapai perkembangan fisik sebagai dasar yang dibutuhkan untuk dapat
melaksanakan segala sesuatu disekolah, perkembangan kognitif yang memadai juga
sangat dibutuhkan selain itu anak juga telah mampu mengembangkan hubungan
emosional yang sehat dengan orang lain
(Natamiharja, 2008).
6) Depresi
pada masa kanak-kanak
Gejala-gejala depresi antara lain gangguan
konsentrasi, tidur kurang, selera makan kurang, mulai berbuat kejelekan
disekolah, tidak merasa bahagia, selalu mengeluh karena penyakit jasmani yang
dideritanya, selalu merasa bersalah
(Mirna, 2013).
G. Konsep Dasar
Perilaku
Perilaku adalah kegiatan atau
aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku merupakan aktivitas
manusia itu sendiri. Ada 2 hal yang mempengaruhi perilaku, yaitu faktor genetik
dan faktor lingkungan. Faktor genetik merupakan konsepsi dasar atau modal utama
perkembangan perilaku selanjutnya, dimana lingkungan sebagai lahan perkembangan
perilaku tersebut (Notoatmodjo,
2007).
Menurut Ian Pavlov dalam Herri
(2010), perilaku adalah keseluruhan atau totalitas kegiatan akibat belajar dari
pengalaman sebelumnya dan dipelajari melalui proses penguatan dan
pengkondisian. perilaku juga merupakan reaksi manusia akibat kegiatan kognitif (pengetahuan),
afektif (sikap), dan psikomotorik (tindakan)
yang saling berkaitan. Jika salah satu aspek mengalami hambatan, maka perilaku
juga terganggu.
Skinner (1938) yang dikutip
Notoatmodjo (2007) mengemukakan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara
rangsangan dan respon. Terdapat 2 respon yang ditimbulkan rangsangan, yaitu respondent respons (timbul karena
rangsangan tertentu, dimana responnya relatif tetap) dan operant respons (respon yang timbul karena adanya respon
terdahulu).
Bloom (1908) membagi perilaku
kedalam 3 komponen, yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. Ketiga komponen
tersebut akan selalu berhubungan serta saling menguatkan dalam membentuk
perilaku (Herri 2010).
1. Aspek-aspek perilaku
a. Pengamatan
Pengamatan merupakan proses pengenalan objek-objek dengan cara melihat,
mendengar, meraba, membau dan mengecap. Kegiatan ini biasa disebut sebagai
modalitas pengamatan. Aspek-aspek
pengamatan terdiri dari penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap, dan
rangsangan indra kulit (Herri, 2010).
b. Perhatian
Notoatmodjo dalam Herri (2010) mengatakan bahwa perhatian adalah kondisi
pemusatan energi psikis yang tertuju kepada objek dan dianggap sebagai
kesadaran seseorang dalam aktivitas
(Herri, 2010).
c. Fantasi
Fantasi merupakan kemampuan membentuk tanggapan yang telah ada. Namun tidak
selamanya tanggapan itu selalu sama dengan tanggapan sebelumnya. misalnya,
melalui fantasi orang tua menemukan metode dalam mengajarkan anaknya menyikat
gigi (Herri, 2010).
d. Ingatan
Jika seseorang tidak dapat mengingat apapun mengenai pengalamannya berarti
tidak dapat belajar apapun meski hanya sebatas percakapan sederhana. Sebab
dalam komunikasi diperlukan ingatan guna memunculkan setiap percakapan baru dan
mengingat apa yang telah diucapkan sebelumnya (Herri, 2010).
e. Tanggapan
Tanggapan adalah reaksi terhadap hasil penglihatan, pendengaran, penciuman,
dan aspek yang tertinggal didalam ingatan. Tanggapan pada akhirnya mempengaruhi
perilaku seseorang (Herri, 2010).
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan perilaku
a. Teori kebutuhan
Pembentukkan perilaku manusia adalah akibat adanya kebutuhan. Atau bisa
dikatakan bahwa kebutuhan merupakan motif yang mendorong seseorang berprilaku
tertentu (Angela, 2005).
b. Teori dorongan
Perilaku merupakan respon terhadap adanya stimulus dari luar diri
(lingkungan), baik karena adanya stimulus tertentu yang relatif menetap, atau
adanya stimulus yang memperkuat respon. Semakin kuat stimulus, semakin kuat
terbentuknya perilaku (Darwita, 2011).
c. Teori belajar
Pembentukan perilaku akibat interaksi
antara orang dengan lingkungannya dan adanya proses imitasi perilaku
model. Peniruan perilaku model sangat dipengaruhi kesenangan, minat, keyakinan,
karakter, sikap, atau perilaku dominan model (Anastasia, 2005).
d. Teori sikap
Lowrence Green dalam Herri (2010) mengatakan bahwa pembentukan perilaku
sangat dipengaruhi perilaku dalam diri dan perilaku luar diri. Perilaku manusia
terbentuk akibat :
1) Faktor predisposisi (predispossing factors), adalah faktor pencetus terjadinya suatu
sebab, seperti pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan
sebagainya.
2) Faktor pendukung (enabling
factors), merupakan faktor yang turut mendukung timbulnya suatu sebab,
seperti lingkungan fisik dan fasilitas.
3) Faktor pendorong (reinforcing
factors), adalah faktor yang berhubungan dengan referensi sikap dan
perilaku secara umum.
3. Komponen-komponen perilaku
a. Pengetahuan
Menurut
Notoatmodjo (2003) dalam Siswomihardjo (2005) menyatakan bahwa pengetahuan
adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan
terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia,
yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Perilaku manusia
terbagi dalam 3 domain, yaitu domain kognitif, afektif dan psikomotor.
Pengetahuan merupakan domain yang esensial dalam membentuk perilaku seseorang.
1) Tingkat pengetahuan
Benjamin Bloom (1956), seorang ahli
pendidikan, membuat klasifikasi (taxonomy)
pertanyaan-pertanyaan yang dapat dipakai untuk merangsang proses berfikir pada
manusia. Menurut Bloom kecakapan berfikir pada manusia dapat dibagi dalam 6
kategori yaitu : Pengetahuan (knowledge),
mencakup ketrampilan mengingat kembali faktor-faktor yang pernah dipelajari
(Notoatmodjo, 2007).
a) Pemahaman (comprehension),
meliputi pemahaman terhadap informasi yang ada.
b) Penerapan (application),
yaitu ketrampilan menerapkan informasi atau pengetahuan yang telah dipelajari
ke dalam situasi yang baru.
c) Analisis (analysis),
merupakan pemilahan informasi menjadi
bagian-bagian atau meneliti dan mencoba memahami struktur informasi.
d) Sintesis (synthesis),
mencakup menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang sudah ada untuk
menggabungkan elemen-elemen menjadi suatu pola yang tidak ada sebelumnya.
e) Evaluasi (evaluation),
meliputi pengambilan keputusan atau menyimpulkan berdasarkan
kriteria-kriteria yang ada biasanya pertanyaan memakai kata :
pertimbangkanlah, bagaimana kesimpulannya.
2) Pengukuran Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2005)
pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau
responden.
3) Cara memperoleh pengetahuan
a) Cara tradisional atau non ilmiah
(1) Cara coba salah (Trial
and error)
Cara ini
telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan bahkan mungkin sebelum adanya
peradaban. Pada waktu itu seseorang apabila menghadapi persoalan atau masalah,
upaya pemecahannya dilakukan dengan coba-coba saja. Bahkan sampai sekarang pun
metode ini masih sering dipergunakan, terutama oleh mereka yang belum atau
tidak mengetahui suatu cara tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi (Notoatmodjo, 2007).
(2) Cara kekuasaan atau otoritas
Para
pemegang otoritas, baik pemimpin pemerintahan, tokoh agama maupun ahli ilmu
pengetahuan pada prinsipnya mempunyai mekanisme yang sama di dalam penemuan
pengetahuan. Prinsip ini adalah orang lain menerima pendapat yang dikemukakan
oleh orang mempunyai otoritas, tanpa terlebih dahulu menguji atau membuktikan
kebenarannya baik berdasarkan fakta empiris ataupun berdasarkan penalaran
sendiri. Hal ini disebabkan karena orang yang menerima pendapat tersebut
menganggap bahwa apa yang ditemukannya adalah sudah benar (Notoatmodjo, 2007).
(3) Berdasarkan pengalaman pribadi
Hal ini
dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu (Nawawi, 2013).
(4) Melalui jalan pikiran
Sejalan
dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara pikir manusia pun ikut
berkembang. Dari sini manusia telah mempu menggunakan penalarannya dalam
memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran
pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya (Notoatmodjo, 2007).
(5) Cara modern atau cara ilmiah
Cara baru
atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis,
logis dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian ilmiah (Notoatmodjo, 2007).
b. Sikap
Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap
dirinya sendiri, orang lain, obyek atau isu, yang disertai kecenderungan untuk
bertindak sesuai sikap objek tadi. Sikap terdiri atas 3 komponen yang saling
menunjang yaitu Komponen kognitif, afektif, dan konatif (Walgito, 2005).
1)
Komponen sikap
a)
Komponen kognitif, merupakan
representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif
berisi ke percayaan stereotipe yang
dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama
apabila menyangkut masalah isu atau proble m yang kontroversial (Walgito,2005).
b)
Komponen afektif, merupakan perasaan
yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar
paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan
terhadap pengaruh-pengaruh yang
mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan
perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu (Walgito,2005).
c)
Komponen konatif, merupakan aspek
kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh
seseorang. Dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak/bereaksi
terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang
dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah
dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku (Walgito,2005).
2)
Tingkatan sikap
a)
Menerima (receiving), suatu keadaan dimana orang mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (obyek).
b)
Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan
suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,
terlepas apakah pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu
menerima ide tersebut (Sobur, 2006).
c)
Menghargai (valuing), yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah.
d)
Bertanggung jawab (responsible), yaitu bertanggung jawab
atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai
sikap yang paling tinggi (Sobur,2006).
3)
Sifat sikap
a)
Sikap positif, yaitu kecenderungan
tindakan mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu.
b)
Sikap negatif terdapat kecenderungan
untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu.
4)
Ciri – ciri sikap
a)
Sikap bukan dibawa sejak lahir
melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan itu dalam hubungan
dengan obyeknya. Sifat ini membedakannnya dengan sifat motif-motif biogenis
seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat (Devi, 2012).
b)
Sikap dapat berubah-ubah karena itu
sikap dapat dipelajari dan sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat
keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang
itu (Devi, 2012).
c)
Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi
senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu objek dengan kata lain,
sikap itu terbentuk, dipelajari atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu
objek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas (Mirna, 2013).
d)
Objek sikap itu merupakan suatu hal
tertentu tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut (Mirna, 2013).
e)
Sikap mempunyai segi-segi motivasi
dan segi-segi perasaan, sifat alamiah yang membedakan sikap dan
kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang (Devi,
2012).
5)
Cara pengukuran sikap
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan
sikap seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan
sesuatu mengenai obyek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap mungkin
berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai obyek sikap, yaitu
kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan ini
disebut dengan pernyataan yang favourable.
Sebaliknya pernyataan sikap mungkin pula berisi hal-hal negatif mengenai obyek
sikap yang bersifat tidak mendukung maupun kontra terhadap obyek sikap.
Pernyataan seperti ini disebut dengan pernyataan yang tidak favourabel (Palupi, 2005).
Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri
atas pernyataan favorable dan tidak favorable dalam jumlah yang seimbang.
Dengan demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif dan tidak semua
negatif yang seolah-olah isi skala memihak atau tidak mendukung sama sekali
obyek sikap (Notoatmodjo, 2007).
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak
langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat/pernyataan
responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
pernyataan-ernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden melalui
kuesioner (Notoatmodjo, 2007).
6)
Faktor-faktor yang mempengaruhi
sikap
a)
Pengalaman pribadi
Merupakan dasar pembentukan sikap. Pengalaman pribadi
haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah
terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang
melibatkan faktor emosional (Soesanto,2007).
b)
Pengaruh orang lain yang dianggap
penting
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang
konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan
ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk
menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut (Soesanto,2007).
c)
Pengaruh Kebudayaan
Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah
sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota
masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman
individu-individu masyarakat asuhannya (Soesanto,2007).
d)
Media Massa
Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media
komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyekstif
cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap
sikap konsumennya (Soesanto,2007).
e)
Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga
agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah mengherankan jika kalau
pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap (Soesanto,2007).
f)
Faktor Emosional
Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang
didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau
pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego (Soesanto,2007).
c. Tindakan
Setelah seseorang mengetahui stimulus, kemudian mengadakan
penilaian atau pendapat terhadap apa yang telah di ketahui untuk dilaksanakan
atau dipraktekan. Suatu sikap belum otomatis tewujud dalam suatu tindakan. Agar
terwujud sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung berupa
fasilitas dan dukungan dari pihak lain (Notoatmodjo, 2007).
Tindakan terdiri dari beberapa tingkat (Notoatmodjo 2007), yaitu
:
1)
Presepsi,
yaitu mekanisme mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan
yang akan diambil.
2)
Respon
Terpimpin, yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang
benar dan sesuai dengan contoh.
3)
Mekanisme,
dapat melakukan sesuatu secara otomatis tanpa menunggu perintah atau ajakan
orang lain.
Adopsi, Suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik,
artinya tindakan itu telah dimodifikasikan tanpa mengurangi kebenaran dari
tindakan tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, R. (2011). Tingkatkan kesadaran
pentingnya kesehatan gigi dan mulut anak. (online) http://www.umy.ac.id. Dakses tanggal 03 Juni Mei 2014.
Anastasia, S. (2005). Buku Ajar Periodonti. Jakarta, Rineka Cipta.
Angela, A. (2005). Pencegahan primer pada anak yang beresiko
karies tinggi. Dental Jurnal. Vol. 38 No. 3 Hal. 130-4.
Asmawati
(2007). Analisis hubungan karies
gigi dan status gizi anak usia 10 – 11 tahun di SD Athirah, SDN 1 Bawakaraeng
dan SDN 3 Bangkala. Dentofasial Jurnal. Vol. 6 No. 2 Hal
78–84.
Budiharjo
(2005). Pemeliharaan Kesehatan Gigi
Keluarga. Surabaya, Airlangga University Press.
Cahyati, W. H. (2008). Karies
Gigi Pada Anak TK. Jakarta,
Media Kesmas. vol. 4, no. 1.
Darwita,
dkk. (2011). Efektifitas Program Sikat
Gigi Bersama Terhadap Risiko Karies Gigi pada Murid Sekolah Dasar. Journal
Indonesia Mededical Association. Vol 61
No. 5 Hal. 15.
Depkes (2013). "Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) Tahun 2013." Retrieved 13 Februari, 2014, from http://www.litbang.depkes.go.id.
Devi,
N. N. (2012). Hubungan Tingkat
Pengetahuan dan Sikap Wisatawan Terhadap Pemanfaatan Klinik Wisata (Studi Kasus
Wisata Pantai Parangtritis Yogyakarta. Skripsi Tidak Diterbitkan. Semarang,
Universitas Diponegoro.
Dewanti (2012). Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Kesehatan Gigi dengan Perilaku
Perawatan Gigi pada Anak Usia Sekolah di SDN Pondok Cina 4 Depok. Skripsi
Tidak Diterbitkan. Jakarta, Universitas Indonesia.
Dewi, M. (2010). Teori Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia, Yogyakarta,
Nuha Medika.
Eva Rumini, (2006). Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Kesehatan Gigi dan Mulut Terhadap kejadian karies gigi (Studi Kasus
Pada SD Mlati I dan SD Sendang Adi I Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman
Yokyakarta. Skripsi Tidak Diterbitkan. Semarang,
Universitas Diponegoro.
Hamada,
T. (2008). Menuju Gigi dan Mulut Sehat
Pencegahan dan Pemeliharaan. Medan, USU Press.
Heri,
Z. P. (2010). Pengantar Psikologi dalam
Keperawatan. Jakarta, Prenada Media.
Hockenberry,
M. J., & Wilson, D (2007). Wong's
nursing care infants and children. St. Louis: Mosby Elsevier.
Indirawati,
T. N., (2013). Penilaian Indeks DMF-T Anak Usia 12 Tahun oleh Dokter Gigi dan Bukan Dokter Gigi
di Kabupaten Ketapang Propinsi Kalimantan Barat. Jakarta, Media Litbangkes Vol 23 No. 1 Hal 41-46.
Karisma, T. (2008). Kapita
Selekta Kedokteran Klinik. Jakarta, Karisma.
Kurniati, E. (2011). Hubungan
Antara Pengetahuan Tentang Karies Gigi Dan Perilaku Menggosok gigi Dengan
Kejadian Karies gigi Pada Murid Kelas VI Sekolah Dasar Di Kecamatan Jombang. (online). http://pasca.uns.ac.id. Diakses Tanggal 4 Juni
2014.
Manson, B. (2005).
Alih bahasa: S.Anastasia. Buku Ajar
Periodonti. Jakarta, Hipokrates
Maysaroh, A. (2013). Hubungan Sikap dengan Kejadian Karies pada
Siswa SDN 136 Pekan baru. Skripsi Tidak Diterbitkan. Pekan Baru,
Universitas Riau.
Mikail, B., &
Candra, A. (2011, September). 90 persen
anak SD di Bangka sakit gigi. Oktober 4, 2011.
Mirah, (2013). Sesuai Data Global WHO Menunjukkan 60-90% Anak-Anak Sekolah di Negara
Industri Memiliki Gigi Berlubang. (online). (http://www.unilever.co.id,
diakses 3 Juni 2014).
Mirna,
F. (2013). Hubungan Perilaku Pemeliharaan
Kesehatan gigi dengan Karies pada Pengunjung Poli Gigi Puskesmas Kenjeran. Jakarta. Skripsi Tidak Diterbitkan. Jakarta, Universitas Indonesia.
Natamiharja, L.
(2008) Pengalaman Karies
Gigi, Status
Periodontal dan Perilaku
Oral Hygiene pada Siswa
Kelas VI SD, Kelas
III SMP, dan Kelas
III SMA Kecamatan
Medan Baru. Medan,
Dental Journal Vol.
13 No. 2
Hal. 131
Nawawi,
Q. (2013). Jangan
Remehkan Perawatan Gigi Susu sejak Dini.
(Online). (http://health.okezone.com/read/.html diakses 21 Februari 2014).
Notoadmodjo. S. (2005). Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S.
(2007). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta, Rineka Cipta.
Nursalam. (2008). Konsep
dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta, Salemba Medika.
Palupi,
I. D. (2005). Status Kesehatan Gigi pada
Anak dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Gigi di SDN Karangsoko III
Trenggalek. Karya Tulis Ilmiah tidak diterbitkan. Semarang, Program Diploma
III Keperawatan UMM.
PDGI, (2009). Petunjuk Praktis Pemeliharaan Kesehatan Gigi
dan Mulut Keluarga. Jakarta : Brosur Kerjasama PDGI-Pepsodent.
PDGI, (2013). Menurut WHO, Karies Gigi di Indonesia
Tinggi. (online). (http://www.beritasatu.com/lifestyle/html diakses 3 Maret
2014).
Potter, P. A., & Perry, A. G.
(2005). Fundamental nursing : Concept,
proses, and practice (6th ed.). St. Louis: Mosby Year Book.
Pratiwi, D. (2007). Gigi Sehat. Jakarta, PT. Kompas Media
Nusantara.
Rakhmat, J. (2006). Komunikasi Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan
Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung,
Remaja Rosdakarya.
Rumini, E. (2006). Hubungan Motivasi Terhadap Praktek Perawatan
Gigi dan Mulut. Skripsi Tidak Diterbitkan. Yogyakarta, Universitas Gajah
Mada.
Santrock, J. W.
(2008). Life Span Development (12th
ed.). Newyork: McGraw Hill.
Silvia, A. (2005). Hubungan
Frekuensi Menyikat Gigi dengan Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa Sekolah
Dasar Negeri di Kecamatan Palaran Kotamadya Samarinda Provinsi Kalimantan
Timur. Samarinda, Majalah
Kedokteran Gigi Vol. 28 No. 2 Hal. 88-90.
Sintawati,
I. (2009). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebersihan Gigi dan Mulut
Masyarakat DKI Jakarta Tahun 2009. Jurnal Ekologi dan Kesehatan Volume 8
Nomer 1. http://repository.ui.ac.id/ dokumen/lihat/5668.pdf. Diakses tanggal 20
Februari 2014
Siswomihardjo, K.W. (2003). Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan
Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu. Dalam Filsafat
Ilmu. Cetakan ketiga. Yogyakarta,
Penerbit Liberty.
Sobur,
A. (2003). Psikologi
Umum. Bandung, Pustaka
Setia.
Soemantri,
S. (2004). Perkembangan Fisik dan Intelektual Anak Usia Sekolah Dasar.
Yogyakarta, Penerbit Liberty.
Soesanto, N. (2007). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta, Rineka Cipta.
Sopiyudin, D. (2005). Besar
Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta, Arkans.
Sopiyudin, D. (2009). Statistik
untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta, Penerbit Salemba Medika.
Tampubolon, N. S.
(2005). Dampak Karies Gigi dan Penyakit
Periodontal Terhadap Kualitas Hidup. Skripsi Tidak Diterbitkan. Medan,
Universitas Sumatera Utara.
Walgito, B. (2003). Psikologi
Social Suatu Pengantar, Yogyakarta, Andi Yogyakarta.
Wardhani,
K. (2014). Minimnya Informasi Media
Mengenai Karies Gigi, (online) http://www.tribunnews.com/kesehatangigi.
diakses 03 Juni 2014
Wardoyo,
H. P. (2009). Kerangka Teoritis dan Pembangunan Hipotesis Theoritical
Framework & Hypothesis Development. Jakarta, Gunadarma Press.
Wong, D. L. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong
(6th ed). Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Yusuf, L. (2009), Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung, Remaja Rosdakarya.
lengkap sekali artikel kesehatan giginya.ini bisa jadi referensi bagi kita semua yang menjaga kesehatan gigi.
BalasHapuscara merawat gigi berlubang
mantap sekali artikel kesehatan giginya, lengkap dan informatif.
BalasHapusciri ciri kanker serviks